02 : pertanyaan-pertanyaanku

218 48 4
                                    

Usai dzuhur berjama’ah, seluruh santri mendapatkan jadwal makan siang mereka. Kini masing-masing sudah mengantri untuk menunggu giliran sambil membawa piring khusus—yang mirip piring pasien di rumah sakit.

Peraturan pondok, nasi boleh banyak tapi lauk itu dijatah oleh petugas dapur. Biasanya petugas dapur juga dibantu oleh santri yang dapat giliran piket makanan. Kalau yang piket kita atau teman kita maka sudah dipastikan akan terjadi nepotisme, alias pembagian jatah yang curang. Walau kadang itu tidak berhasil karena diawasi oleh petugas dapur.

Hari ini salah satu yang piket adalah Umar. Saat Ajis menerima jatah lauk dan sayurnya, Umar tidak menambahkan. Padahal Ajis sudah kode. Kalau Umar yang piket jatah orang-orang biasa seimbang katanya. Aku sempat berpikir bahwa mungkin aku istimewa karena Umar sering duduk di dekatku saat KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) umum. Tapi hasil lauk dan sayurku sama saja. Padahal niatku kalau dia melebihkan maka akan kubagi dengan Ajis.

“Nasib nasib, beda kali kalo kau yang piket, Ri,” katanya.

Aku dan Ajis mencari kursi dan meja yang kosong. Saat itu pandanganku terbentur dengan Ghazi yang makan sendirian. Aku berniat ke sana, tapi Ajis malah sudah lebih dulu mendorongku untuk mengambil meja yang lain.

Ajis sudah mulai lahap setelah membaca doa makan secepat kilat. Sedangkan aku menahan gerakanku untuk makan karena masih belum lega setelah obrolan singkat dengan Ghazi tadi. Aku kembali melihat ke arah Ghazi. Anak itu masih bisa makan dengan lahap seolah nggak punya masalah.

Aku menghela napas, malah aku yang tidak berselera. Karena itu, aku malah melamun. Melamunkan pertanyaan-pertanyaan yang mengisi pikiranku saat ini.

Sejak kecil aku sudah punya sekelebat pertanyaan dalam kepala. Dimulai dari siapa ayahku. Karena sebelumnya aku memang hanya tinggal dengan mama dan nenek, di Jakarta. Ya, kota metropolitan itu, aku dilahirkan di sana. Mengenai kenapa aku bisa tinggal di sini, pelan-pelan akan kuceritakan. 

Lalu pertanyaan kenapa dunia seperti ini, seringkali bertentangan dengan keinginan juga harapanku. Juga akan bagaimana nasib masa depanku dengan aku persiapkan atau tidak siapkan sama sekali. Sebab aku merasa saat kupersiapkan pun rasanya percuma, karena orangtuaku selalu mengambil keputusan tanpa pernah berpihak pada keinginanku atau tidak.

Jalan hidup manusia itu kadang-kadang ajaib. Sangkin ajaibnya, hidupmu itu bisa berubah 180 derajat hanya dalam waktu singkat. Kukira itu hanya jalan cerita klise dalam fiksi ataupun sinetron yang biasa ditonton mama dan nenek. Ternyata bisa terjadi secara nyata juga dalam hidupku.

Awalnya hidupku berjalan dengan damai, lancar dan bebas hambatan seperti jalan tol. Walau sekolahku nggak bisa dibilang elit-elit amat tapi mama dengan bangga menyekolahkanku di sana. Apalagi anaknya ini memang cerdas, sering pulang membawa nilai-nilai bagus bahkan jadi juara kelas. Lingkaran pertemananku juga terbilang sehat, tidak bergaul dengan anak-anak nakal, kalau ada anak nakal yang mengganggu sudah pasti aku dibela. Prestasi dan prilaku itu pun akhirnya menjadikanku menyandang predikat populer di sekolah. Aku jadi pusat perhatian banyak orang.

Tetapi, semua berubah saat tahun terakhirku kelas 8 SMP, nenek meninggal oleh penyakit yang dia buat sendiri karena hobi merokoknya. Paru-parunya rusak, usianya pun menjadi singkat. Dalam sekejap usaha kateringnya bersama mama pun di ujung tanduk. Karyawan bertingkah di saat mama kelabakan mengurus semuanya. Belum lagi adanya pengkhianatan dari salah satu karyawan terlama yang ingin usaha itu jatuh ke tangannya—intrik yang serupa sinetron yang ditonton mama dan nenek sepertinya.

Akhirnya usaha itu hancur karena selama ini hanya nenek yang disegani karyawannya, sedangkan mama cuma dianggap anak bawang, tidak bisa mengatur dan mempertahankan apapun. Imbasnya uang sekolahku menunggak, menyebabkan ujian akhir semesterku jadi terancam.

Mama jadi sering menangis. Entah itu sembunyi-sembunyi atau terang-terangan di depanku. Sementara aku, anaknya yang saat itu masih berusia 13 tahun—yang terbiasa dimanjakan tidak bisa melakukan apapun. Saat kutawarkan untuk menjual hadiah kamera digital yang dia belikan saat aku juara kelas tahun lalu, mama malah terdiam. Kukira dia akan mengiyakan tawaranku, dia malah punya ide lain.

Ide lain inilah yang menjadikanku berada pada situasi hidup berubah secara ajaib 180 derajat bagian kedua. Secara tiba-tiba, mama dapat uang. Dia langsung melunasi uang sekolahku jadi aku bisa ujian dengan tenang. Saat kutanya dari mana dia dapatkan uang itu, dia cuma tersenyum saja dan berkata,

“…yang pasti datang dari Allah, Sayang.” Sama sekali tidak memuaskanku.

HazeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora