[23] Dunia sedang Tidak Baik ⚠️

Start from the beginning
                                    

"Ternyata sudah beberapa tahun. Bibi juga baru tau tadi pagi pas laki-laki itu datang ke rumah sakit."

Ada kekecewaan yang sangat mengganggu Ladin. Membuat perempuan itu tidak lagi menahan tangisnya dan terus berlari tanpa ujung pemberhentian yang jelas. Isakan mulai samar terdengar, sampai kemudian mengisi kosong jalanan. Otaknya tidak bisa berhenti memutar penjelasan Bibi tadi, dan Ladin ingin sekali denial untuk menolak kebohongan paling aneh yang dilontarkan Bibi.

"Bukan, bukan salah Ibu."

Ladin geram sekali mendengar ucapan Bibi. "Ibu selingkuh, tapi itu bukan salah Ibu? Bibi bercanda, ya?"

"Dengar dulu, Ladin."

"Terus kalau bukan salah Ibu, salah siapa? Salah Ayah? Atau salah Ladin?"

Pipinya sudah basah, bersahut-sahutan dengan gemulai angin yang balas menerpa balik kulitnya. Dada Ladin naik turun, sesak karena tiba-tiba berlari jauh tanpa persiapan apa-apa, tapi dia masih juga tidak ingin berhenti. Ladin ingin menyakiti dirinya sendiri untuk kelelahan, kecapaian, dan tidak berdaya. Sampai Ladin puas bahwa rasa sakit yang bisa dia ciptakan itu bisa mengalihkan perasaannya dari rasa sakit yang baru diterimanya.

"Bukan, bukan salah Ayah juga."

Omongan Bibi semakin tidak masuk akal. Ladin berdiri, bersedekap. "Bi, ini bukan topik yang bisa kita bercandain."

"Dengar dulu, Ladin."

"Kalau bukan salah Ibu dan bukan salah Ayah, terus salah siapa?!"

"Nggak ada yang salah."

"BI!" Ladin berteriak keras. Cairan bening itu sudah memenuhi pelupuk matanya, untuk kemudian menatap nyalang pada saudara Ibu di depannya dengan kekacauan yang amat sangat. "Kalau kayak gini, nggak mungkin nggak ada yang salah, Bi!"

"Ladin, dunia itu bukan meja hijau. Nggak segala hal yang terjadi punya posisi benar atau salah. Dua-duanya impas, imbang."

Tahu-tahu, Ladin terjatuh karena tersandung batu kerikil. Dia mengerang kesakitan saat sandalnya terlepas sehingga kaki telanjangnya bergesekan pada aspal tajam. Dia kembali menangis. Dengan rambut acak-acakan, wajah memerah, juga baju yang dipenuhi keringat. Perempuan itu terduduk untuk melihat lukanya yang mulai mengeluarkan darah.

Rasanya sakit, itu sebabnya Ladin menangis. Darah itu bukan apa-apa selain pengalihan luka tak kasatmata dari dalam dadanya. Dengan begitu saja, Ladin memukul-mukul dadanya. Memohon agar rasa sakit yang menjelma di dalam sana bisa segera ingkah untuk memberinya ruang bernapas sejenak.

Sebab Ladin rindu bahagia. Ladin rindu diterima oleh seseorang.

"Ibu mulai selingkuh karena Ayah terlalu tertutup. Ayah nggak pernah cerita kalau ada masalah di kantor. Nggak pernah cerita kekurangan dalam hidup dan hal-hal lain yang lagi Ayah jalani. Puncaknya, saat Ayah di-PHK dan Ayah nggak cerita apa pun ke ibumu apa penyebabnya. Besoknya, Ayah lihat ibumu diantar orang lain ke rumah."

Apakah ada penjelasan paling konyol selain ucapan Bibi sekarang?

"Kamu paham kan, Din?"

Tidak. Ladin jelas menolak untuk paham.

"Berkeluarga itu seharusnya diisi oleh komunikasi, saling terbuka supaya sama-sama tau rencana ke depannya mengarah ke mana. Ladin paham kan kenapa ibumu merasa diabaikan saat Ayah menjalani hari-harinya seperti sendirian? Padahal, Ibu sudah berusaha keras untuk membuat Ayah terbuka."

Fase dalam Lingkaran [Selesai]Where stories live. Discover now