[19] Manusia dan Peran Mendengar

892 233 61
                                    


Satu-satunya kekacauan yang Ladin ingat selepas Ayah dan Ibu dibawa ke Polsek adalah permintaan maaf Ayah yang jauh dari kata tulus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu-satunya kekacauan yang Ladin ingat selepas Ayah dan Ibu dibawa ke Polsek adalah permintaan maaf Ayah yang jauh dari kata tulus. Laki-laki itu sempat tertangkap mata Ladin tengah menatap ke arahnya penuh rasa bersalah, yang langsung lenyap setelah melirik sosok Ibu. Hal yang lantas membuat otaknya berpikir bahwa ia sedang berhalusinasi saat melihat setitik rasa bersalah pada Ayah tadi.

Banyak kicauan di sekitarnya yang Ladin tak benar-benar ingat. Dua jam selepas Bu Erum mengantarnya pulang, Ayah dan Ibu ikut pulang ke rumah bersama petugas kepolisian, Pak RT dan Ibu RT, serta orang-orang yang Ladin tidak kenal. Kepalanya terlampau penat untuk mendengar penyelesaian permasalahan itu berujung ke arah mana. Hanya beberapa hal yang terekam di ingatannya, dan rasanya sama sekali tidak membantu permasalahannya.

"Pak Sinaga sudah minta maaf dan menyesali kesalahannya. Baiknya, permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan saja."

Begitu kata seorang berseragam yang Ladin pikir adalah polisi setempat. Baik Ladin maupun Ibu, sama-sama tak memberi tanggapan. Seolah bingung dengan makna 'kekeluargaan' yang polisi itu maksud.

Kekacauan itu menyisakan barang-barang di rumah yang berantakan dan denyut kepala Ladin di keesokan paginya. Ia terpaksa bangun untuk bersiap pergi kuliah, ditemani cibiran tetangga yang mulai gencar membicarakan keluarganya. Ladin sudah mengembuskan napas berat sejak menemui ibu-ibu yang bergosip di arah gerobak sayur depan rumahnya, secara terang-terangan melirik ke arahnya.

"Jarene, bapak e sing mukul, ta?" (Katanya, Bapaknya yang mukul, ya?)

"Oalah. Padahal Bapak e iku apikan." (Oalah. Padahal Bapaknya baik).

"Alaahh. Paling enek alesan nopo moro-moro kasar." (Alaah. Paling ada alasan kenapa tiba-tiba kasar)

"Mesakne anak e, ya. Eh, iku anak e ta? Sopo jeneng e? Ladin?"

Orang yang menjadi subjek pembicaraan itu berlagak tak dengar. Ladin lebih memilih untuk mengendarai motornya dan membelah jalanan, tanpa perlu repot-repot melirik ibu-ibu di sana yang semakin memberi atensi pada setiap pergerakannya. Hidupnya sekarang seperti sedang disorot lampu besar di suatu panggung. Anehnya, penonton tak diundang secara sukarela mengomentari gerakannya dari kursi penonton dengan gunjingan yang hanya memuaskan ego mereka sendiri.

Jika ada yang mengira bahwa permintaan maaf Ayah kemarin adalah sebuah perubahan kecil, mereka salah besar. Ayah dan Ibu sempat tak bertegur sapa satu mingguㅡLadin justru lebih senang kondisi ini dibanding mendengar pekikan Ayah yang bersahutan dengan tangisan Ibu setiap harinya. Namun, hari-hari kemudian pertikaian itu muncul lagi. Hanya bersumbu dari masalah sepele; Ibu menyiapkan telur matang di mi instan untuk sarapan pagi sementara Ayah berteriak bahwa ia lebih suka telur setengah matang.

Kepala Ladin penat luar biasa. Semakin hari, ia tidak sanggup untuk keluar rumah dan menghadapi cibiran tetangganya. Hanya Bu Erum, istri Pak RT, satu-satunya orang yang masih menaruh peduli. Bu Erum beberapa kali datang ke rumahnya, sekadar mengobrol ringan atau membawakan makanan untuknya.

Fase dalam Lingkaran [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang