L4

59 24 0
                                    

Tiga Dua Satu

Serat-serat harapan
Masih terjalin suaramu terdengar
Masihlah nyaring dan bergema
Di ruang-ruang hatimu

Tenangkan Hati
Semua ini bukan salahmu
Jangan berhenti
Yang kau takutkan takkan terjadi

Layaknya konser pada umumnya. Orang-orang berputar sambil melambaikan tangannya di udara. Menyoroti sang musisi dengan sorot lampu dari handphonenya. Sehingga dapat dilihat seperti lautan cahaya yang bertabur di bawah langit malam.

Aku masuk ke dalam kerumunan. Ikut menari bersama mereka yang telah lebih dulu datang dan mengikuti konser sejak awal. Yang aku suka hadir dalam sebuah konser yaitu suasananya. Siapapun yang tampil di panggung besar itu jika telah berhasil menarik para penontonnya maka suasana yang diciptakan pun ikut terjalin dengan perasaannya. Satu dari semua perasaan. Meskipun orang yang datang ke konsernya punya tujuan masing-masing.

Aku ingin sepertinya, bersama dengan teman-teman. Bukan menjadi sang penyemangat tapi dia yang menyuarakan.

"Shafana, seru kan?" tanya Killa setengah berteriak mencoba melebihi besarnya suara musik.

Aku tersenyum lebar mengangguk. Pergi bersama orang lain ke suatu tempat lebih menyenangkan di bandingkan sendiri.

Di mana-mana dipenuhi pergerakan. Tidak sengaja aku terdorong mengenai orang di belakangku. Dengan tiba-tiba dua orang di depanku mundur secara tiba-tiba membuatku dan Killa bergerak ke belakang.

"Aduh."

Aku spontan menoleh untuk meminta maaf.

"Asa,"

"Amel?"

Mereka terlihat merapihkan pakaiannya. Kemudian ikut terkejut ketika masing-masing dari kami bertatapan dengan mereka.

Aku tidak pernah menyangka mereka akan suka datang ke konser seperti ini. Untuk Amel mungkin aku pernah mengiranya, mengetahui dia dan teman-temannya sering membahas hal musik. Terutama band favourite mereka The Rolling Stones. Tapi aku malah bertemu dengannya di konser Kunto Aji.

"Kalian nonton?" tanya Asa.

Killa lebih dulu mengangguk. Belum sempat kami bercakap menambahkan satu dua kata untuk ditanyakan dan dijelaskan, seorang lebih dulu mengagetkan kami dengan suara tegasnya. Yang kerap kami dengar ketika latihan musikalisasi di sekolah.

"Bu Selen?"

***

Hujan turun dengan deras membasahi jalanan dan sekitar. Kami terpaksa berdiam diri menunggu hujan reda. Bu Selen yang membawa kami ke warkop sebelah juga ikut duduk menunggu. Setelah bertemu secara tidak sengaja tadi, dia menarik kami untuk keluar dari kerumunan. Menyelesaikan konser yang belum selesai. Padahal belum sampai bagian tengah, bagian kesukaanku.

"Ini malam sekolah, besok Senin tapi kalian asik-asik nonton." Bu Selen berkata sambil menyuruput teh panasnya di sela-sela kalimatnya.

"Minum," suruhnya menunjuk segelas teh tawar panas yang berada di depan kami masing-masing. Dia membelikannya untuk kami tadi.

"Jika kalian sampai sakit, latihan kita bisa terganggu. Bisa gagal dan tidak sepadan latihan kalian dengan yang lain."

Aku diam menunduk tidak berani menatap matanya. Teman-temanku yang lain juga sama menunduk. Hanya satu dua kali saja terdengar suara orang menyeruput tehnya. Tidak terlalu jelas, karena sepertinya hujan belum berniat berhenti untuk turun dari langit. Petir terdengar menggelegar. Ada beberapa orang juga yang memilih berteduh dari pada harus berkendara di tengah hujan yang deras.

"Bu Selen sendiri juga nonton?"

"Kalau cari percakapan yang mengunggah, Nak. Jangan membuat saya mengeluarkan kalimat yang kalian sendiri juga tahu jawabannya." dia kembali menyeruput tehnya.

Aku senyum-senyum sendiri melihat muka Killa yang menahan malu. Temanku ini berlagak seperti tidak tahu sikap Bu Selen.

"Apa yang membuat Bu Selen datang ke konsernya?" tanya Asa sekarang.

"Tidak jauh dari bersenang-senang seperti kalian," jawabnya.

"Kalian pikir saya terlalu tua untuk sekedar datang ke konser ditengah para remaja yang beranjak dewasa?!"

"Bukan, tapi bukannya ibu sendiri yang bilang kita harus lebih banyak berlatih?" tanya Killa kali ini.

Sudah yang keberapa kali Bu Selen menyeruput kembali teh miliknya. Tiga cangkir di sebelahnya telah habis. Setiap kali kami bertanya dan Bu Selen menyelesaikan kalimatnya, ia kembali meneguk tehnya. Apakah kerongkongannya secepat itu mengering?

Atau dia sedang mengalihkan sesuatu, contohnya terganggu dengan bau mulut kami?

Aku segera mengeceknya diam-diam. Memang seharusnya aku mempersiapkan diri sebaik mungkin sebelum berhadapan langsung dengan Bu Selen.

"Kalian terlalu banyak bertanya. Itu urusan kalian sendiri, yang saya mau pada saat kalian berlatih bersama nanti semuanya telah siap. Bahkan telah dituliskan sendiri oleh salah satu teman kalian di sini." Bu Selen menatap Asa.

Yang ditatap hanya mengangguk kecil.

"Kau menuliskan yang pasti kan. Saya tidak butuh yang tidak pasti. Apalagi kamu di sini menjabat sebagai ketua."

Aku mendelik heran, bukannya Bu Selen sendiri yang setuju menggantikan Amel dengan Asa.

"Sudah jam delapan malam, kalian pulang naik apa?" tanyanya.

Tadi aku dan Killa menggunakan motor. Sisanya aku tidak tahu mereka menggunakan apa.

"Sepeda." Asa menjawab kecil.

"Sepeda, Asa? Rajin sekali kau mengayuhnya malam-malam." Bu Selen berceletuk asal.

Aku melirik ke arah Amel yang dari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Padahal dia duduk persis di sebelah Bu Selen. Namun sepertinya Amel tidak merasa terganggu dan memilih untuk tetap diam. Hanya Killa saja yang beberapa kali melontarkan beberapa pertanyaan dan lagi-lagi harus rendah hati dengan jawaban yang diterimanya dari Bu Selen.

Sekitar 10 menit selanjutnya hujan mulai mereda. Aku memutuskan beranjak, sebelum semakin larut sebaiknya aku segera pulang.

"Mau pulang kau, hei?" tanya Bu Selen.

"Iya bu," jawabku.

"Yasudah hati-hati, jangan sampai terlambat besok." tangannya melambai ke arah aku dan Killa.

Lihatlah bahkan aku mulai tahu sisi berbeda dari seorang guru musikal yang tegas.

***

Meskipun keesokan harinya dia akan kembali menjadi seorang, "Harimau." aku berceletuk tiba-tiba di waktu yang tidak tepat.

"Perhatikan Shafana." Bu Selen menatapku tajam. Bola matanya terlihat seperti ingin keluar dan itu membuatku sedikit ingin tertawa. Aku terkekeh kecil.

"Ponimu benarkan, mau seperti kuda kamu? Ada poninya."

Semua yang berada di ruangan tertawa. Aku menutup mukaku malu. Yang benar saja poni bagus seperti ini di bilang mirip seperti kuda. Waktu memotongnya saja aku rela datang ke salon untuk mendapatkan hasil yang sempurna tidak miring apalagi tidak rata. Sebenarnya Bu Selen sedang bercanda atau tidak. Mukanya tetap datar seperti papan.

"Siapa yang suruh kalian tertawa, lihat perut kalian sudah mulai maju."

Mereka memudarkan senyumannya memegang perut masing-masing.

"Lari 10 kali putaran. Matahari pagi bagus untuk menyambut hari,"

"Jangan membuat saya harus merubah formasi kalian lagi, karena masalah perut." lanjutnya diiringi dengan suara siulan dari Bu Selen.

Tiga Dua SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang