L1

100 31 2
                                    

Tiga Dua Satu

"Audisi udah di buka lho!"

Aku spontan menoleh menuju sumber suara. Perempuan yang terpaut dua kursi denganku benar datang dengan berita yang bagus. "Engga usah ngarang deh, Mel!" temannya menimpali. Mereka sudah berbaur dan meluas menjadi bahan perbincangan. "Gue berani bertaruh," kata Amel percaya diri.

"Amel kalo udah bertaruh suka bener, iyain aja."

"Hahaha jangan gitu dong!"

"Tapi emang bisa jadi bener, liat tuh." mereka semua melirik ke arah pojok kiri dimana perempuan itu duduk. Akupun sama, ikut melihat ke arah pojok kiri untuk menyambungkan percakapan. "Unaisa?"

"Oke, no word."

Untuk beberapa menit kedepan bisikan mereka terdengar seperti berteriak. Membicarai gadis-yang duduk di pojok kiri kelas. Sebenarnya aku tidak tahan dan ingin sekali ikut mengobrol bersama mereka, tidak hanya menguping. Sayangnya aku tidak akrab, dibandingkan harus dicap 'sokap' lebih baik aku memilih untuk mendengarkan mereka dari jauh.

Aku membentangkan buku dan memutuskan pindah kursi supaya bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Ini tentang Unaisa. Perempuan itu memang sudah kerap menjadi pemeran utama. "Kasian yang terpilih tahun ini. Harus bernasib sama seperti tahun-tahun sebelumnya." mereka berpendapat peluh. Audisi ini memang spesial. Tidak bisa dipungkiri semua siswa termasuk aku pasti ingin menjadi pemeran utama. Hanya saja melihat siswa lain yang sudah terpilih lalu digantikan dengan Unaisa. Membuatku berpikir ulang berjuta-juta kali. "Katanya si bayar."

Desah-desuh memakai jalur dalam juga tidak gencar di lontarkan. Seolah mereka semua rendah, dengan sifat terang-terangannya Unaisa tidak sama sekali menanggapi kalimat tersebut. Jujur saja ketika aku melihat aktingnya, tanganku bergerak beberapa kali untuk menutup mulutku yang menguap. Mimik wajahnya monoton, dan aku sama sekali tidak merasakan karakter yang di perankannya.

Umur kami belum terlalu dewasa. Hanya angka 1 dilanjutkan angka 7 dibelakangnya. Di setiap semester 1 berganti, seolah dalam sekejap kami semua adalah rakyat yang memperebutkan singgah sana milik raja atau ratu yang akan turun tahta. Kecuali aku, dan beberapa teman lainnya yang sudah tergabung menjadi tim musik tahunan. Untuk menjadi yang di agung-agungkan juga tidak mudah. Setahuku ada beberapa tes dan mencakup banyak percobaan dialog karakter yang diujikan. Seakan semua itu hanya hiasan, setiap yang terpilih akan sia-sia.

Ketika aku dan teman-teman lain memanggil namanya, "Asa!"

Leher bahkan lirikan mata tidak pernah ia tunjukan. Dia melengos pergi dan membuatku, "Kesel banget deh!" teriakan dari teman sebangkuku secara tiba-tiba sungguh mengagetkan. "Gue baru aja ngumpulin tugas rangkuman yang gue kerjain berhari-hari. Dateng-dateng bukannya nyambut gue dengan nilai bagus atau seengaknya 85, ini cuman 80." dia menggerutu kesal di gendang telingaku.

"Itumah lo nya aja kurang bener ngerjainnya."

"Masa sih! Aspeknya emang gimana? Kalo harus di hias, harusnya bapak fisika itu kasih tau gue dulu dong!" aku mengendikan bahu tidak tahu.

"Amel, Unaisa, Shafana. Di panggil Bu Selen!" dari ujung kelas dengan mendadak murid itu berteriak memanggil.

Aku mengerutkan dahi menatap teman sebangkuku. Aku dan Amel-yang baru saja membahasnya, di panggil bersama si tokoh pembicaraan.

Dengan pelan aku bangun dan mempersilahkan Unaisa menuju ruangan Bu Selen pertama. Entah apa yang harus aku katakan kali ini, begitupun Amel.

Tiga Dua SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang