Chapter XXII

41 16 2
                                    

Aku meminum minuman yang berada di depanku sembari terus menatapnya. Surai silver itu terlihat jauh lebih panjang dibanding kali terakhir kami bertemu. Aku jadi penasaran, rambut Akala sudah sepanjang apa sekarang? 

"Sudah 2 tahun tidak bertemu, akhirnya terlihat juga wujud aslinya. Terakhir kali kita bertemu, kau adalah kakek-kakek," celutuknya kemudian tertawa kencang. 

Aku hanya bisa mendengus tanpa ada niat membalas. Membalas perkataannya adalah hal tidak berguna. Perhatianku beralih pada pasar yang berjejer di sekitar. Kebanyakan dari mereka menjual senjata atau ramuan. Berbeda sekali dengan kota Xeko yang kebanyakan menjual pernak-pernik sihir. Ah, saat dia berkata 2 tahun tidak bertemu ... berarti aku berada di hutan itu selama 2 tahun?

"Kota apa ini?" tanyaku sembari menoleh untuk menatap Carlise. Tak lama kemudian aku mengernyit saat melihat apa yang tengah dia lakukan. "Kau ... sedang apa?"

Dengan mulut kotor, Carlise melirikku sekilas sebelum atensinya kembali pada benda--atau mungkin makanan--di depannya. "Kita di kota Ido bodoh. Tidakkah kau lihat bahwa tidak ada pernak-pernik sihir di sini?" jawabnya. "Sial, puding di sini enak! Permisi, aku mau tambah lagi!"

Sementara Carlise dengan mulut kotor itu berlari menjadi pelayan, aku mendesah sembari menatap sekeliling. Aturannya mengatakan, "Untuk memasuki Dungeon, Anda tidak boleh sendirian Tuan. " Dan aku hanya bisa berdecak sebagai balasan. 

Carlise kembali tak lama kemudian. Masih dengan mulut kotor, tetapi tangan yang membawa sapu tangan. "Kasihan sekali kakek ini, dia sendirian di usia senjanya," ucapnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. 

Aku mendesis. "Diam anak kecil. Atau kakek ini akan mengutukmu menjadi katak."

Carlise terkekeh kemudian duduk dan membersihkan mulutnya. "Kau sedang butuh kelompok bukan?" tanyanya sambil mengelapi wajahnya yangpenuh puding.

Aku yang semula sibuk mengawasi pemandangan dari balik jendela pun meliriknya sekilas. "Yeah, tapi aku tidak mau berkelompok bersamamu."

"Ih," dia berdecak, membuat kedua mataku secara refleks meliriknya. Wah, bibirnya sudah bersih rupanya. "Aku juga tidak mau bersamamu. Begini, kita akan pura-pura membentuk kelompok. Kemudian saat sudah di dalam, kita berpisah," jelasnya sembari menaik turunkan alis.

Merasa tertarik, aku pun menoleh ke arahnya. Salah satu sudut bibirku terangkat saat mengatakan, "Boleh juga."

*****

"Apa?!" Aku dan Carlise memekik bersamaan. Yah, walau reaksi Carlise lebih parah, kedua tangannya memukul meja yang menengahi antara kami dan seorang ... entah bagaimana cara mereka menyebutnya.

"Hei, apa maksudmu bahwa kami tidak boleh masuk ke dungeon? Bukankah kami sudah membuat kelompok?" tanya Carlise dengan nada tinggi.

Wah, aku tak pernah melihat anak ini seemosi ini. Ini membuatku bertanya-tanya, sebenarnya siapa dia? Dan apa yang dia lakukan di sini?

Wanita itu hanya menggeleng seraya tersenyum. Senyuman yang entah mengapa terlihat menyebalkan. "Tuan masih level 1 sedangkan Anda, Nona, Anda masih level 2. Kami tidak bisa membiarkan petualang level rendah pergi ke dungeon."

Aku menatapnya tajam. Rendah? RENDAH katanya?! Aku mendorong Carlise ke belakangku dan menatap wanita itu tajam. "Bagaimana penilaian level di sini? Apa ada ujian mana khusus?"

"Sistem di kota ini bukan seperti itu. Kami menilai dari dungeon yang berhasil petualang selesaikan. Karena mana bisa berbohong. Bahkan meski kalian memiliki aura, belum tentu kalian dapat mengeluarkan sihir."

Aku memukul meja dengan kencang. Ucapan wanita itu ... aku tau bahwa dia sedang menyindir Akala. "Ucapanmmu barusan itu—"

"Pe-permisi ...."

Tubuhku menegang tatkala akku mendengar suaranya. Carlise yang melihat perubahanku pun menoleh ke belakang, tepatnya asal suara itu.

"Apa kali-an bu-butuh angg-gota lagi?"

*****

"Lucu sekali, akhirnya kita bertemu kembali Dhiib," ucapku seraya meliriknya datar. Rupanya masih hidup. Kupikir dia sudah mati karena dikeroyok werewolf. "Bagaimana Donna dan Vilks?"

"D-Donna di-dihukum mati, dan b-b-benda yang berha-sil kutemukan kembali di-disita," terangnya dengan tatapan tajam yang mengarah padaku. Aku membalas dengan mengedikkan bahu.

"Bukan salahku, kalian yang gegabah."

"Wow, Kakek, aku tau kau jahat. Namun tak kusangka kau sejahat itu!" ujar Carlise yang berjalan di depan kami seraya berbalik. "Dungeon yang ini punya 5 lantai. Aku akan ada di lantai ke-3. Saranku, Cheren, langsung saja ke lantai terakhir. Toh, harta karunnya biasa ada di lantai bawah."

Begitu aku berkedip, Carlise langsung hilang begitu saja. Menyisakan aku dan Dhiib yang saling melirik satu sama lain.

Aku mengambil langkah pertama sebelum akhirnya Dhiib mengikutiku dari belakang. "Sulit sekali berbicara gagap padahal kau bisa berbicara normal."

Diam-diam salah satu tanganku bersiap mengambil belati yang terselip di saku celanaku. Mana mungkin aku bisa lupa cara bicaranya yang seperti ini! Terakhir kali saat dia seperti ini, aku sama sekali tidak mempersiapkan apapun. Namun, kali ini setidaknya aku sudah menyiapkan belati cadangan.

"Saya cuma ingin bilang, bisa tidak Anda meminta maaf?"

Aku terdiam, langkahku terhenti dan keningku berkerut. "Hah?"

Dhiib yang beberapa langkah di depanku pun ikut berhenti. Dia berbalik dan menatapku dengan senyuman. "Minta maaflah, maka setelah itu aku tak akan mengganggumu," ujarnya lagi.

"Ma-maaf?" ucapku kemudian. Mungkina lebih mirip pertanyaan dibanding pernyataan.

Senyuman di wajah Dhiib melebar. Kemudian dia kembali berbalik dan berlari. Sangat kencang, memasuki wilayah di mana para moster ada. Setelah itu, aku benar-benar tak pernah melihatnya lagi.

*****

Dengan menggunakan mantra Lumay, aku dapat menghabisi para moster dengan mudah. Sayangnya, harta yang ada di dalam sini bukanlah batu yang kuinginkan. Hanya sekotak emas yang sering kulihat.

Aku berjalan dengan beban tas punggung dan menenteng kotak itu keluar. Di ambang pintu, nampak, Carlise tengah bersenandung ria. Menyadari eksisitensiku, Carlise menoleh dan tersenyum. "Menemukan yang kau cari, Kakek?"

Aku mendengus. "Tidak, bukan ini yang kucari." Kulemparkan kotak itu ke arah Carlise dan langsung ditangkap olehnya.

"Wah, terima kasih!"

Aku--dan Carlise pastinya--berjalan keluar bersama. Langit sudah senja saat kami keluar. Namun suasana kota ini masih tetap ramai. Dapat kulihat anak-anak masih bermain dan berlarian di sekitar.

"Agaknya kita terpaksa selama beberapa waktu. Karena barang yang kucari juga belum ketemu," ucap Carlise tiba-tiba.

Aku meliriknya sekilas. "Bukan ide yang buruk. Toh, pada akhirnya kelompok kita hanyalah nama. Aku dan kau tetap bergerak masing-masing," jawabku santai.

Mendengar itu, Carlise terkekeh. Dia berlari kecil dan berdiri menghadapku, membuat langkahku terpaksa terhenti. "Kalau begitu, kita sepakat?" tanyanya seraya mengulurkan tangan kanannya.

Aku mengernyit, agak ragu untuk membalas jabatannya. Akan tetapi tawaran ini cukup menguntungkan. Dan juga ... aku agak penasaran dengannya. Ah! Maksudnya bukan penasaran dalam artian romantis. Lebih ke perasaan ... curiga, mungkin?

Aku menghela napas dan membalas janatan tangannya. "Sepakat."

-----***-----

Little Note untuk diriku sendiri (ノ≧∀≦)ノ

Jumlah kata Chapter XXII = 1016 kata.

Anazítisi [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon