Chapter XIII

53 23 2
                                    

"Bukankah di sini terlalu damai?" Lelaki itu bertanya sembari mencomot apel hijau milik salah seorang pedagang.

Aku meliriknya sekilas. "Bukankah itu bagus? Dibanding tempat lain yang kudatangi, di sini normal," jawabku acuh tak acuh.

Kepalaku mendongak, menatap langit biru yang dipenuhi bintang. Seperti yang tertulis di buku, meski siang hari sekali pun langit di sini selalu dihiasi bintang. Berbanding balik dengan Kota Miel yang tidak memiliki bintang sama sekali.

"Kau tidak curiga mengapa dia mengambil barang-barangmu dan mengapa tidak mengembalikannya padamu?" tanyanya sembari melangkah ke sisiku. Digigitnya apel hijau itu sebelum melanjutkan, "Atau alasanku membicarakan ini denganmu?"

Aku menoleh ke arahnya dengan dahi berkerut. "Jangan bawa-bawa aku dalam masalah tempat ini," desisku seraya mengambil jarak dari lelaki gila ini.

"Kau Abathmob 'kan?"

Langkah kakiku sontak terhenti ketika mendengarnya. Kutatap dirinya dengan sorot mata yang tidak bersahabat. "Dari mana kau tau?"

Lelaki itu tidak menjawab. Dia menoleh ke kanan dan kiri, seakan tengah mencari tempat lain untuk berbicara. Dia menggeleng sekilas sebelum akhirnya kembali berjalan mendahuluiku. "Ikut aku," bisiknya, nyaris tidak terdengar karena keramaian di sekitar.

Aku sudah tidak terkejut saat mengetahui orang ini membawaku ke bar. Kepada diriku di masa depan, bersumpahlah untuk tidak pernah membawa Akala ke bar mana pun di Kota Xeko. 

"Ini adalah b--"

"Perkumpulan rahasia pemberontak negara, hm?" potongku seraya tersenyum sinis. Bau alkohol yang begitu menyengat kini tak begitu tercium olehku. Wah, rupanya aku sudah terbiasa dengan aroma semacam ini.

Lelaki itu mendengus kemudian terkekeh. "Persis seperti Ayahmu, cepat beradaptasi."

Dia mempersilakanku masuk sebelum dirinya.

Bar itu sepi, padahal memiliki dekorasi yang menarik. Berbeda dengan kebanyakan bangunan di sini yang berwarna putih, bar ini justru bernuansa hitam dan coklat. 

Lelaki itu mengajakku  untuk duduk di sembarang tempat kemudian memesan minuman pada seorang pria tua. "Air biasa untuk anak ini dan yang biasa untukku." Setelah mencatat, pria tua itu segera pergi.

"Sungguh, aku sama sekali tidak berniat untuk membantu kalian sedikit pun. Apalagi bila itu sama sekali tidak menguntungkanku," tegasku cepat bahkan sebelum dia membuka mulut.

"Jangan salah paham," ucapnya seraya berdecak. "Aku hanya ingin memberikan bantuan untukmu."

Aku mendesis seraya melipat kedua tanganku di depan dada. "Lalu setelah itu kalian akan memaksa agar aku membalas budi dengan embel-embel kalian sudah membantuku? Tidak terima kasih."

"Keras kepala, seperti Ibumu."

Netraku menatapnya tajam. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Dari mana kau tau aku Abathmob?"

"Itu mudah!" serunya dengan bangga. Salah satu sudut bibirnya naik ke atas, membentuk senyum sinis yang seharusnya menjadi ciri khasku. "Abathmob memiliki iris mata yang gelap. Berbeda dengan kebanyakan penyihir lain yang memiliki iris mata cerah."

Benar juga.

"Apa kau bisa membuat ledakan?" tanyanya kemudian. 

"Dengan sihir? Tidak, karena aku tidak memiliki tongkat. Dengan ramuan? Bisa saja jika bahan-bahannya ada," jawabku jujur. Aku suka pertanyaan yang menyangkut ilmu pengetahuan.

Dia mengangguk. "Lalu apa saja bahan ramuannya?"

"Tergantung dibutuhkan untuk apa," jawabku. Tak lama kemudian aku mengernyit. "Bukankah itu pelajaran dasar? Sihir ledakan, sihir api, sihir angin dan sihir mudah lainnya. Lalu ramuan ledakan, penyembuh tingkat rendah dan ramuan asap. Mereka juga pelajaran dasar."

Lelaki yang namanya masih belum ketahui itu hanya diam.

Pria tua itu akhirnya datang dan membawakan pesanannya. Dia kembali pergi tampa sekali pun penasaran dengan apa yang kami bicarakan.

Kuambil gelas berisi air bening dan kuhirup aromanya. Setelah yakin itu bukan alkohol dan tidak mengandung obat atau ramuan berbahaya lainnya. Kuteguk minuman itu dan merasakan rasa manis yang cukup asing.

"Di benua ini, ilmu pengetahuan tentang sihir dan ramuan adalah ilegal. Ayahku dulu pernah mencoba untuk melawan dan dia mati," jelasnya dengan suara sendu.

Sejujurnya aku agak tidak peduli, tetapi baiklah. Mengorek informasi bukan hal yang buruk.

"Karena itukah mereka menyita barang-barangku?" tanyaku untuk memastikan. Dia membalas dengan anggukan.

Wah, itu konyol. Jadi mereka mengecek barang-barangku tanpa peduli meski ada pakaian dalam di dalamnya? Ck, ck,  menggelikan sekali.

Aku mendesah dan kembali meneguk minumanmu. Sementara dia langsung meneguk habis minumannya. "Lalu ... apa yang kau inginkan dariku? Soal ledakan itu?"

Dia menegakkan punggung. Kulihat sorot matanya mengeras. "Kau sedang mencari sihir untuk putri semata wayang Pythonissam bukan? Di dalam sana, ada sebuah buku yang berisi sihir kuno. Aku membutuhkannya, begitu juga denganmu 'kan?"

*****

Tawaran itu jelas menarik. Apalagi persoalan buku sihir kuno. Bisa saja ada penjelasan khusus mengenai aura unik milik Akala. Aku nyaris lupa tujuanku pergi karena masalah di kota Miel.

Aku memandangi langit-langit kamarku, sementara orang dengan pakaian yang luar biasa tertutup itu memeriksa kondisiku. Dia menekan-nekan pergelangan tanganku lalu muncul perasaan hangat dan nyaman di sekujur tubuhku. Inii mengingatkanku pada Donna.

Yah, karena dia healer, seharusnya dia masih bisa bertahan hidup. Lalu Dhiib ... yah, bibinya itu pasti akan membantunya bertahan hidup juga.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya tampa menoleh arahku.

Aku diam. Perasaanku ... ya? Perasaanku saat ini tidak dapat dideskripsikan dengan baik. Maksudku, aku mulai merasa menyesal karena telah memutuskan untuk pergi.

"Cepat atau lambat Anda harus mencari pekerjaan dan mencari rumah untuk Anda tinggali. Biar bagaimanapun Anda 'kan akan menetap di sini."

Aku yang mendengar itu. sontak terkejut bukan main. Apa-apaan itu!? "Apa maksudmu?" tanyaku dengan nada tinggi.

Orang yang dengan pakaian tertutup itu terkekeh geli. Aku dapat merasakan kan iris aqua miliknya menatapku dengan tatapan yang menyebalkan. Dari suara kekehan nya kurasa ... dia adalah perempuan.

Oh, itu tidak penting!

Mengapa di setiap perjalanan perjalananku, aku selalu bertemu wanita gila?! Sepertinya mau tidak mau aku memang harus menerima tawaran lelaki itu.

*****

Aku kembali datang ke bar itu. Kali ini sendirian, tanpa lelaki itu.

Bar hari ini cukup ramai. Konyolnya, mereka menyambutku dengan penuh suka cita. Aneh memang. Apa tidak ada orang normal di dunia ini?

"Tonny bilang kau Abathmob 'kan? Kami sudah membawa beberapa benda yang mungkin saja bisa dijadikan ramuan peledak," ucap seorang pria berbadan bulat dengan senyuman yang sangat lebar. Pipinya sampai berlubang karena senyuman itu.

Tonny? Apa itu nama lelaki kemarin?

Pandanganku beralih menatap meja yang menyediakan barang-barang yang mereka maksud.

Kakiku langsung lemas saat melihatnya.

Rumput liar, bunga liar, bebatuan sungai, duri landak, bulu monyet, sisik ikan, batang tanaman liar, Padi dan ... tanaman Fiáin.

"Astaga! Benda-benda yang kalian bawa sama sekali tidak berguna!" hardikku dengan nada tinggi. Sorakan dan kegembiraan mereka langsung sirna, tergantikan oleh keheningan.

Aku mengusap wajahku dengan kasar. "Sepihan emas, bulu-bulu Dawajin, air sungai, air mata Bamdara dan Jaṅgalī bōṭabiruvāharū. Itu yabg kubutuhkan!"

Alih-alih bergerak cepat, mereka justru terbengong mendengar ucapanku.

Sial, mereka semua memang tidak berguna!

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now