Chapter II

142 43 47
                                    

---=== Revised ===---

Netraku menatap kosong lembaran demi lembaran buku-buku usang di depanku. Dengan tangan yang sibuk memainkan tongkatku—entah itu memutar-mutarnya atau mengetuknya di pinggiran meja—pikiranku berkelana pada percakapanku dan tuan Filikos beberapa saat yang lalu. Kesunyian kamar yang biasanya amat kusukai kini mengintimidasiku.

"Kau tau Cheren? Amical sejak dulu selalu menginginkan seorang anak laki-laki ...."

Aku memejam letih.

"... Aku sudah menyerah soal Putriku ...."

Kugenggam tongkatku dengan sangat erat.

"... Dibanding menyulitkan dirimu sendiri, Cheren. Bukankah ada opsi lain yang jauh lebih menguntungkanmu?"

Dengan satu gerakan, aku menghantam keningku tepat di pinggir meja. Aku mengerang lantaran rasa sakit yang langsung menjalar ke seluruh kepalaku. Menghela napas, aku mengigit bibirku dengan frustrasi.

Nyaris saja, batinku memperingatkan bersamaan dengan kedua kelopak mataku yang menutup, Nyaris saja kau tergiur tawaran itu, Cheren.

Aku terdiam, masih dengan posisi kening yang bertengger pada meja. Berkali-kali kupikirkan pun, keputusan tuan Filikos terlalu terburu-buru dan tidak masuk akal. Aku tahu beliau memikirkan masa depan keluarga Pythonissam, tetapi jika dipikirkan, banyak bangsawan penyihir di luar sana yang baru mengerluarkan aura pada saat remaja dan menguasai sihir saat sudah kepala 2. Sedangkan Akala bahkan mampu mengeluarkan aura saat masih 8 tahun.

Tahun ini dia masih sepuluh tahun, bukankah masih banyak waktu sampai gadis kecil itu memasuki usia di mana dia berhak mendapat gelar pewaris? Apa yang sebenarnya pria itu pikirkan? Mengapa ia seputus asa itu?

Pikiranku kembali berkenala pada percakapan kami beberapa saat yang lalu. Pun kedua mataku sontak terbuka saat mengingat salah satu kalimat yang dilontarkan pria itu. "Jika saja di luar sana ada ilmu sihir yang dapat Akala gunakan, Cheren, maka dengan senang hati aku akan memberinya gelar pewaris keluarga Pythonissam."

Tubuhku terlonjak dan langsung berdiri dari posisiku. Kedua tanganku mencekram pinggiran meja dan netraku menatap kosong kertas dan buku-buku usang di atas meja tersebut dengan sedikit ternganga. "Di luar sana," gumamku, mengulang apa yang diucapkan tuan Filikos ucapkan.

Ah, bodohnya kau Cheren! Tentu saja di luar sana! Bagaimana mungkin aku melupakan fakta bahwa dalam 2 tahun belakangan aku hanya berkeliling di kota ini? Bahkan aku belum pernah mengunjungi perpustakaan di ibu kota. Mengapa aku tak pernah berpikir untuk pergi dan mencari ilmu sihir untuk Akala?

Dengan senyum mengembang, kubawa kedua kakiku untuk melangkah menuju ruangan tuan Filikos. Namun, tepat saat aku membuka pintu, senyumku mendadak luntur. nyonya Amical berada di sana, tangannya masih terangkat seperti hendak mengetuk pintu. Kami sama-sama menunjukkan ekspresi terkejut sebelum akhirnya wanita itu berdeham.

"A-ah, apa yang Anda lakukan di sini, Nyonya?" tanyaku seraya mengelus tengkuk dengan canggung. Dia ... tidak melihat senyum konyolku yang tadi bukan?

Nyonya Amical mendesah. Dapat kulihat rasa khawatir dalam matanya yang berusaha ia samarkan dengan senyuman tipis. "Maaf bila aku mengganggumu, Cheren. Apa kau melihat Akala? Sedari tadi aku tidak melihatnya," tanyanya dengan gelisah. "Aku sudah bertanya pada setiap orang di manor, tetapi tak seorang pun melihatnya."

Aku terdiam, mencerna pertanyaan yang ia lontarkan, sebelum akhirnya mengerjap. Firasat buruk langsung menyeruak dadaku, membuat jantungku terpacu untuk berdetak lebih cepat. Kutelan saliva dengan perasaan tidak karuan sebelum akhirnya menjawab, "Uh, beberapa jam yang lalu dia masih di halaman belakang. Namun setelah itu dia pergi begitu saja."

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now