Chapter XIV

48 23 2
                                    

Jalanan yang kereta ini lewati cukup menyedihkan. Entah sudah berapa kali kepalaku terantuk atap dan bokongku meloncat dari kursi. Yah, aku lebih ragu soal keahlian pengemudi dibanding jalan berbatu ini.

"Berapa lama lagi kita akan sampai?" tanyaku seraya menoleh ke arah jalanan. Aku bersumpah Aku lebih suka berjalan kaki dibanding harus duduk di kereta kuda sialan ini.

Yang lain mengendikkan bahu, entah memang tidak tahu atau terlalu malu untuk menjawab.

Biarku Ingatkan sekali lagi, orang-orang di benua ini tidak pernah belajar tentang apapun. Menurut penjelasan mereka, mereka tidak diperbolehkan memegang buku selain buku yang diberikan oleh kuil. Yah ... itu menjelaskan mengapa mereka sangat bodoh.

"Aku masih tak percaya bahwa bahan-bahan yang kami bawa sama sekali tidak berguna untuk membuat ramuan," ucap seseorang yang namanya tidak ku kuketahui.

Aku mendesis seraya melirik tajam ke arah mereka. "Jangan konyol! Barang-barang yang kalian bawa itu bahkan lebih cocok untuk jadi pernak-pernik dibanding untuk membuat ramuan. Sama sekali tidak berguna sama sekali!

Tujuan kami adalah ke Kota Hale. Mereka bilang penjagaan kuil di sana tidak terlalu ketat, jadi masih ada orang yang memiliki kemampuan sihir dan ramuan secara diam-diam. Ditambah, mereka bilang di sana adalah surga bagi para pengunjung untuk menikmati keindahan alam.

Sial, kenapa aku tidak bisa menggunakan mantra rumut tanpa tongkat sih?! Bahkan walau aku bisa meledakkan sesuatu tanpa tongkat, mana yang diperlukan cukup banyak. Sedangkan jika mengeluarkan auraku hanya untuk membuat ledakan, aku bisa mati! KENAPA HIDUPKU SIAL SEKALI SIH?!

"Kalau kau rela berjalan sekitar 350 kilometer lagi Abathmob. Silakan turun jika memang mau," ucap Tonny dengan senyuman menantang.

Aku hanya meliriknya tajam tanpa ada niat untuk membalas. Aku tidak sekurang kerjaan itu sehingga mau berjalan 350 kilometer lagi.

Oh, karena permasalahan Dhiib dan Donna, aku sampai melupakan tujuanku pergi dari kediaman Pythonissam.

Begini saja, ruang bawah tanah tempat barang-barangku disembunyikan pasti berisi buku-buku kuno hasil sitaan dari orang-orang kuil. Aku yakin karena pada dasarnya kebanyakan pemberontak—sebutanku pada mereka—bukan orang asli Benua Notos.

Sebagai contoh, orang tua Tonny adalah penduduk asli Benua Voreios. Kebetulan saja saat sedang berkunjung, ibu Tonny melahirkannya di sini. Lalu Tonny terjebak dii benua ini. Nasib ayaj dan ibunya? Tidak tau dan tidak peduli. Yang jelas, Tonny ingin keluar dari Benua Notos.

Mari kita ingat pelajaran membuat ramuan dari wanita picik itu.

Sepihan emas bisa didapat di mana saja. Orang-orang di sini pasti memiliki perhiasan 'kan? Aku hanya perlu sedikit serpihan untuk membuat satu kuali besar ramuan.

Lalu bulu-bulu Dawajin. Makhluk sejenis unggas itu pasti ada di hutan. Hanya perlu kesabaran saja untuk memancing makhluk itu. Air sungai jelas mudah di dapatkan. Bahan yang sulit ditemukan dan didapatkan adalah air mata Bamdara dan Jaṅgalī bōṭabiruvāharū.

Bamdara adalah hewan yang lincah. Bentuknya menyerupai manusia tetapi tidak sepintar manusia. Mereka tinggal di hutan dan bergerak dari satu pohon ke pohon yang lain.

Jaṅgalī bōṭabiruvāharū adalah tanaman yang tumbuh di gua atau sisa-sisa batang pohon. Sulit menemukannya karena bentuknya hampir sama seperti bunga dandelion.

"Kupikir pihak kuil akan melarang kita untuk pergi," ucapku sembari melirik langit biru penuh bintang di luar.

"Selama tujuan kepergian kita masih masuk wilayah benua ini, mereka tidak akan melarang," jawab Tonny sementara yang lain membalas dengan anggukan.

Aku hanya mengangguk kecil kemudian menikmati siksaan perjalanan.

*****

"Abathmob, apa ini Jaṅgalī bōṭabiruvāharū?" seorang lelaki bertubuh gempal bertanya sembari membawa tumbuhan liar padaku.

Aku berdecak. "Bukan! Kalian tau bunga dandelion tidak sih?! Mana mungkin dandelion berbentuk seperti itu!"

Senja telah datang. Dan kami—tepatnya aku—baru mendapat sebotol kecil air sungai. Demi nama Melviano Anfhony! Sia-sia saja aku membawa serta orang-orang bodoh itu!

Ada 5 orang selain aku dan Tonny yang ikut ke kota Hale. Aku dan Tonny sebagai orang yang pintar—meski aku lebih pintar darinya—di antara semuanya sepakat untuk berpencar. Aku mencari air sungai dan Jaṅgalī bōṭabiruvāharū bersama 2 orang lainnya.  Sedangkan Tonny serta 3 orang lainnya pergi mencari Dawajin dan Bamdara.

Sejujurnya, tugas Tonny jauh lebih berat dibanding tugasku karena targetnya adalah hewan. Aku tahu dan aku sengaja melakukan itu.

"Abathmob!" teriak Tonny dari kejauhan.

Aku sontak menoleh dan ... bruk! Tubuh Tonny menabrakku. Aku hendak memakinya tanpa peduli dia lebih tua beberapa tahun dariku. Masalahnya, posisi kami terbilang cukup memancing salah paham.

"Baji—"

"Tahan ucapanmu anak muda!" ucapnya dengan nada memerintah sekaligus panik. Dia menoleh ke belakang. "Para Dawajin itu mematuk kami!"

Aku hanya memandangnya datar. "Lanciare!" Tubuh Tonny langsung terlempar beberapa meter dariku. Aku bangkit dan menepuk-nepuk pakaianku agar sedikit bersih dari tanah yang menempel.

"Woah! Kau bisa menggunakan sihir tanpa tongkat?!" pekik seseorang dengan kagum. Disambut dengan pujian-pujian dari yang lain.

Aku berdecak. "Karena yang tadi itu masih termasuk sihir dasar!"

Aku kembali fokua mencari sementara yang terdiam seperti orang bodoh. Oh, tunggu ... mereka memang bodoh.

Pada akhirnya kami memutuskan untuk mencari tempat menginap. Hasil pencarian hanya ini hanyalah air sungai dan sebuah bulu Dawajin. Ck, sepertinya mereka semua memang hanya beban.

"Hewan-hewan itu mengerikan!" ucap seseorang dengan tubuh gemetar, kotor dan berantakan.

Aku hanya memutar bola mataku dan memilih untuk memakan santapan malamku.

"Hei, Abathmob. Kau sering menyebut 'sihir dasar'. Memangnya ada apa saja sihir dasar itu?" tanya yang lain.

Aku mengernyit. "Kenapa kalian ingin tahu? Toh, kalian belum tentu dapat menggunakannya."

"Mengapa begitu? Kupikir semua orang bisa melakukannya," tanya Tonny dengan nada terkejut.

Aku mendesis. Entah kenapa pertanyaanku seakan menyinggungku. Kalau memang semua orang bisa menggunakan sihir, aku tak perlu keluar dan berkeliling untuk mencari sihir!

"Pertama wahai orang-orang bodoh, kalian harus bisa mengeluarkan aura mana kalian. Kedua, kalian harus mempelajari sihir dasar elemen untuk mengetahui kalian pengguna sihir apa. Ketiga ...," aku terdiam sebentar. "Ketiga, walau kalian bisa mengeluarkan aura, belum tentu kalian dapat menggunakan sihir."

Aku menegakkan punggungku. "Sihir dasar terdiri dari sihir api, angin, air, tanah dan petir dalam bebtuk ledakan kecil. Sihir lanjutan adalah ketika sihir-sihir dasar dikombinasikan, dimodivikasi atau ledakan kecil itu diperbesar," jelasku pada mereka.

Mereka mengangguk walau tatapan mata mereka masih menunjukan kebingungan akan penjelasanku.

Aku mendesah kemudian bangkit. "Aku duluan."

*****

Langit biru yang dihiasi bintang terlihat begitu menawan. Seharusnya ini adalah hari yang indah. Jika saja aku tidak membawa beban.

"Abathmob! Tolong!" pekik seseorang berkumis padaku. Aku hanya mengendikkan bahu dan memandangi mereka dari atas dahan pohon.

"Aku sudah memperingatkab kalian untuk tidak ikut tadi," balasku cuek.

Sementara mereka berteriak histeris karena dikejar dan dipatuh oleh Dawajin, aku yang semula duduk di dahan pohon pun bangkit.

Akala pernah mengajariku memajat pohon dan bergelantungan seperti Bamdara. Jadi, dari pada aku ikut tersiksa oleh Dawajin bersama mereka, aku memutuskan untuk pergi mencari Bamdara sekaligus Jaṅgalī bōṭabiruvāharū sendirian.

Dan ... yah, ini akan menjadi penyesalanku.

Anazítisi [END]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن