Chapter XIX

43 21 2
                                    

Sembari membuka lembaran demi lembaran halaman buku yang kuambil dari beberapa tempat, wanita elf tua itu menatapku. Tatapannya sangat tajam dan mengintimidasi, membuatku nyaris tidak fokus pada buku. Setelah kejadian aneh dan memalukan tadi, para elf itu berbondong-bondong membawaku ke rumah nenek ini. Katanya untuk beristirahat dan memulihkan diri.

"Apa kau pernah melihat rupa ibumu?" tanyanya tiba-tiba, membuat perhatianku kini sepenuhnya teralihkan dari buku yang tengah kubaca.

Aku menggeleng. "Tidak."

Dia mengenyit. "Kupikir setidaknya Alainn pernah menyusuimu."

Aku mendesah dan menatap lurus ke arahnya. "Sekali pun ibuku pernah menyusuiku, bukan berarti aku bisa mengingat wajahnya," ucapku seraya membawa punggungku untuk menempel pada kursi anyam yang tengah kududuki.

"Bagaimana kabar Ayahmu?" tanyanya kemudian.

Aku terkekeh sebelum akhirnya menjawab, "Anda sepertinya lupa, Ayahku telah mati bersama dengan Ibuku." Kupejamkan mataku dan menikmati udara segar yang berada di ruangan ini. Wangi rempah dan aroma terapi di sini membuatku lebih rileks setelah berkali-kali masuk penjara.

Dia diam sebentar, seakan menyadari bawah pertanyaan yang dia lontarkan salah. Sekitar lima menit dia membiarkan suara hembusan napas teratur yang kukeluarkan menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan. "Bagaimana kabar Filikos? Apa dia ikut dihukum gantung?"

Sontak, kedua kelopak mataku terbuka. Punggungku menegak secara refleks. Netraku menatap iris aqua yang melekat pada kedua matanya itu dengan tatapan bingung sekaligus curiga. "Tuan Filikos apa?"

Dia menaikan alis kemudian tersenyum miring. "Rupanya Pythonissam menyembunyikan cerita itu darimu, ya?"

Aku tau ini konyol, tapi ... tatapannya itu seakan menghipnotisku. Hingga tanpa sadar aku meneguk saliva.

"Kau mau dengar sesuatu, 'nak?"

****

Aku memandangi aliran sungai di depanku dengan tatapan kosong. "Gyeyag ..." gumamku kemudian mengutili bebatuan kecil dan melemparnya ke sungai. Sudah satu jam berlalu sejak nenek elf itu menceritakan beberapa potongan kecil kisah masa lalu ibu dan ayahku. Kemudian tiba-tiba saja dia memaksaku datang ke sungai ini. Sungguh konyol.

Gyeyag pada dasarnya adalah sebuah sihir kuno yang telah ribuan tahun punah. Nenek elf itu bilang kalau pengguna Gyeyag adalah mereka yang bisa berbicara, mengontrol, berteman bahkan mengikat kontrak dengan naga. Padahal gerbang menuju dunia naga tinggal adalah tempat yang tidak pernah bisa digapai dengan sihir sekarang.

Lalu untuk kasus ayah dan ibuku, nenek elf itu bilang jika Tuan Filikos tau semua. Seharusnya Tuan Filikos juga dihukum gantung karena dialah yang membuat ayah dan ibuku bisa bercinta—maksudnya bertemu dan menikah. Namun, anehnya dia masih hidup.

Pada dasarnya, prilaku keluarga Pythonissam padaku memang aneh. Tuan filikos bilang dia adalah sahabat ayahku. Namun, dia tidak mengurusku dan menitipkanku pada wanita kementrian biadap, padahal tahu bahwa ayahku menitipkanku padanya. Setelah kupikir-pikir, perilaku Nyonya Amical juga aneh. Setiap memandangku, ada sedikit perasaan takut dan enggan dalam benaknya yang terpancar dalam iris matanya.

Saw—kepala pelayan keluarga Pythonissam—memang sejak seakan menolak eksistensiku di dalam manor. Awalnya kupikir itu karena aku adalah darah campuran. Kemudian aku teringat bahwasanya, ada sekiranyanya 7 pelayan berdarah campuran yang bekerja untuk keluarga Pythonissam. Sungguh aneh karena aku sering melihatnya berbincang akrab dengan mereka.

Aku mendekati aliran sungai bening itu, berniat untuk mencuci wajah. Akan tetapi, alih-alih melihat bayangan wajahku, aku melihat bayangan seorang elf wanita. "Cheren," panggilnya lembut.

Aku tersentak ke belakang. Awalnya, aku berniat untuk berteriak. Akan tetapi setelah kupikir dan kuingat, aku kenal suara wanita ini. Dengan penuh rasa waspada dan salah satu tangan yang siap dengan tongkat, aku yang semula tersentak mundur, kembali menatap pantulan itu.

"Kau sudah dewasa, ya?"

"Siapa kau?" tanyaku tanpa basa-basi.

Wanita itu terkekeh kemudian tersenyum miring. "Coba tebak."

Aku mengernyit. "Orang gila?" Air sungai langsung terangkat dan menampar wajahku. Aku memekik dan kembali tersentak ke belakang. "Apa-apaan itu?!" Beberapa detik aku menunggu, wanita elf yang berada di air itu tidak menjawab. Penasaran, aku pun mengintip dan kembali mendapat tamparan air.

"Rasakan, dasar anak kurang ajar! Ayah dan anak sama saja kurasng ajarnya! Aku ingat Wees juga mengataiku orang gila saat pertama kali bertemu. Oh, padahal Filikos jauh lebih gila dibanding aku."

Aku mengerjab-ngerjab tatkala beberapa tets air mengenai wajahku bahkan hingga memasuki hidung. Setelah terbatuk beberapa kali, aku menatap wanita dengan warna mata aqua keemasan dengan ekspresi bingung. "Kau ... memanggilku apa tadi? A-anak?" tanyaku tergagap-gagap.

Hening sejenak. Dapat kulihat wanita itu mengernyit dengan ekspresi yang jujur saja, imut. "Lho? Filikos tidak pernah menunjukkan potret kami padamu 'nak? Kupikir kau main-main saat bilang aku Orang Gila."

"Lupakan itu! Mengapa aku harus percaya bahwa kau benar ibuku?"

"Oh, teganya. Kau lupa pada ibu yang telah mengandungmu selama nyaris 13 bulan?"

"Jangan konyol." Aku melirik ke arah lain, memastikan tidak ada orang lain yang melihatku berbicara dengan air sebelum melanjutkan, "Wanita hanya mengandung selama 9 bulan."

Dia memutar bola matanya. "Itu kalau bayinya berdarah murni. Kau 'kan campuran."

Tanpa mengalihkan pandanganku, aku mengambil buku yang kubawa ke sini dan menunjukannya padanya. "Melviano Anfhony tidak pernah menjelaskan itu di bukunya."

Dia mendesis dan menunjukkan ekspresi jijik. "Kakek tua itu sering membual. Jangan percaya padanya."

Aku mendengus. "Baik, terserah padamu, Ibu." Kicauan sekumpulan burung memecah atensiku, membuat kepalaku mendingak dan menatap langit senja di atasku dengan tatapan terpukau. Kemudian aku kembali menatap bayangan wanita itu yang kini tengah terdiam dengan ekspresi terkejut.

"Ibuku sudah mati," ucapku kemudian, membuatnya tersadar dari lamunannya. "Meski aku memanggilmu seperti itu pun, aku belum mengakui bahwa kau ibuku."

Dia hanya tertawa hambar. "Sudah senja, kembalilah ke rumah nenek itu sebelum kau pingsan karena kegelapan."

*****

Nenek elf itu memberikanku tempat tidur yang jika dilihat sekilas terlihat sangat tidak nyaman digunakan. Namun, jika kau sudah merebahkan tubuhmu, kau akan merasa sangat nyaman.

Aku sebenarnya hendak menanyakan prihal wanita di air yang mengaku ibuku pada nenek itu. Satu-satunya yang kudapat hanyalah tatapan tajam yang memberi isyrat untuk diam dan tidur.

Paginya, seorang elf kecil menarikku dari tempat tidur secara tiba-tiba. Aku masih setengah tertidur saat para elf menyuguhkan berbagai makanan padaku. Kata nenek elf itu, "Makan yang banyak sebelum kami memberimu latihan."

Aku menolak, karena porsi makanku tidak sebanyak itu. Namun para wanita elf berbondong-bondong menyuapiku dengan makanan yang tidak ada habisnya. Aku bahkan tidak paham dengan apa maksud 'latihan' yang nenek elf itu katakan.

Setelah membuatku teler karena kekenyangan, para pria elf menyodorkan sebuah busur padaku. Mereka menyuruhku untuk menembakkan 3 anak panah. Seseorang mempraktikkannya terlebih dahulu sebelum memaksaku untuk mencobanya. Semua anak panah yang kutembakkan meleset.

Semua orang yang semula bersorak terdiam. Dari sanalah segala macam penyiksaan berlebel latihan bertahanan diri elf dimulai.

Anazítisi [END]Where stories live. Discover now