Bab 9 - Serangan Kurma Terbang

Start from the beginning
                                    

"Perlengkapan Memasak."

Senyum merekah di wajah tampan cowok itu. Aran bergegas mengambil tangga yang tersandar di sudut lain gudang. Dia akan memanjat dan menurunkan kardus itu.

Ternyata tidak seberat yang Aran duga sebelumnya. Dengan perlahan cowok itu melangkah turun.

Baru tiga langkah dia turun, saat itulah, matanya bertatapan dengan makhluk yang paling tidak ingin dilihatnya. Makhluk mengerikan itu tiba-tiba melakukan ancang-ancang karena merasa terusik. Kemudian wuzzzz ... melakukan manuver terbang tepat ke wajah Aran.

Bersamaan dengan itu, ada suara jeritan membahana juga suara benda berat dan besar jatuh menghantam lantai.

Bersamaan dengan itu, ada suara jeritan membahana juga suara benda berat dan besar jatuh menghantam lantai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sementara di seberang rumah Aran, Cinia tampak sedikit ketakutan saat meminta tanda tangan Benny.

"Enak aja! Bapak nggak akan mau keluar uang untuk piknik! Kamu seneng-seneng, Bapak puyeng di kantor!" makinya sambil mendorong Cinia ke belakang.

Cinia sudah menduganya. "Tidak perlu bayar, Pak. Sudah pakai uang kas, kok. Hanya perlu izin saja," dustanya.

Cewek itu tidak pernah menerima sepeser pun uang dari Benny. Dia mencari uang untuk kebutuhan sehari-hari dengan berdagang secara online tanpa modal sebagai marketer. Dia juga menjual catatan pelajaran untuk digandakan pada teman-temannya yang malas mencatat. Terkadang, di musim ujian seperti ini, dia akan sibuk menerima pesanan les tambahan dari banyak orang. Baik teman sekelas, bahkan dari sekolah lain.

Dengan cara itu Cinia bisa bertahan hidup. Bapaknya tak pernah mau makan masakannya. Berangkat sangat pagi dan pulang sangat malam bahkan lebih sering tidak ada di rumah. Cinia sendiri sudah lupa rasanya bercengkrama dengan orang tua. Semua seolah dongeng yang tak akan bisa dia raih.

"Ya tetep aja! Seenaknya kamu piknik, sementara Bapak banting tulang untuk nyari makan!"

Cinia rasanya muak. Banting tulang buat nyari makan? Makan siapa? Nafkah siapa? Jika almarhum ibu masih ada, pasti Cinia sudah dibawa pergi entah ke mana. Sayangnya, Ibu meninggal saat dirinya masih berusia lima tahun. Masih terlalu muda untuk mengerti bahwa sang ayah tak menginginkannya. Dia dirawat dari saudara ke saudara sejak kecil. Tidak ada yang menyayanginya meski Cinia selalu berusaha menjadi anak yang penurut.

Hingga akhirnya, dia dikembalikan pada sang ayah di usianya yang baru dua belas tahun. Neraka bagi Cinia baru saja dimulai.

"Kamu harusnya sadar diri! Bersyukur sudah Bapak sekolahin tinggi-tinggi!"

Cinia tak menjawab.

"Bapak malu kalau anak supervisor sampai putus sekolah. Bapak mati-matian nabung supaya kamu bisa sekolah! Tapi, kamu malah seenaknya minta piknik! NGACA SANA!" Suaranya tiba-tiba melengking tinggi.

Lagi-lagi Cinia tak berani membantah. Malu dengan rekan kerja di perusahaan kontraktor perumahan, tapi terus diungkit-ungkit? Cinia memang bersyukur disekolahkan. Namun, jika diungkit terus, rasanya tetap menyebalkan.

Magicamore Arancini (Edited Version)Where stories live. Discover now