Canistopia - XXII

Mulai dari awal
                                    

“Matt dan Damien, Mike dan Fred, kemudian kita ..., di mana Sean duduk?” tanya Daves. Keningnya berkerut hingga kedua alisnya hampir menyatu. Ia keluar pintu ruangan, melewati koridor sempit sambil melihat-lihat ruangan lainnya lalu kembali. Sesekali kepalanya menoleh ke luar dari pintu geser yang terbuka.

“Duduklah,” omel Chris. “Bisa-bisa kau terjatuh karena keretanya sudah bergerak.”

Daves mendengkus dengan tatapan seriusnya. “Tetap saja, di mana Sean duduk?”

“Di depan. Di ruangan paling depan,” tunjuk Chris dengan dagunya.

“Dia menyendiri? Satu ruangan cukup untuk berempat,” heran Daves. “Mungkinkah ia masih marah? Bukankah kami sudah saling memaafkan saat ia kembali ke kamarnya tadi?”

“Apa salahnya menyendiri? Aku juga ingin sendiri kalau kau tidak bergabung di ruangan ini,” jawab Chris sementara punggungnya bersandar nyaman.

Daves merengut. “Kau selalu saja berterus terang. Tapi maaf-maaf saja, aku lebih suka mengganggumu dari pada mengganggu suasana hati Sean yang sedang tidak baik.”

“Begitulah. Tetapi Damien sepertinya sangat suka mengganggu.” Chris membuka matanya seraya menoleh ke arah kaca pintu yang sudah kembali menutup. Daves ikut menoleh terkejut namun tak sampai ia beranjak dari duduknya.

“Ah, apakah keputusan kita membawanya salah?”

Chris tersenyum simpul. “Bagaimanapun, itu takdirnya. Sudah seharusnya dia di sini.”

🐾

Damien mengetuk pintu geser ruangan tempat Sean duduk, sementara si penghuni ruangan sedang terpejam dengan kedua tangannya yang terlipat di dada. Tidak ada sahutan, tetapi Damien bersikeras untuk menemuinya.

“Sean,” panggilnya. “Diizinkan atau tidak, aku akan masuk.”

“Masuk saja,” jawab Sean akhirnya seraya menyamankan duduknya. Ia membuka mata dan menyadari anak itu sudah duduk di seberangnya. “Ada apa?”

“Karena insiden siang ini, kau masih marah?”

Sean terdiam, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela dan tampak sedang berpikir. “Tidak. Itu sudah selesai. Fred datang ke kamarku untuk meminta maaf.”

“Kalau begitu, aku juga harus meminta maaf.” Damien refleks menoleh saat wajah seseorang muncul di kaca pintu “Fred!” panggilnya membuat Sean ikut menoleh sekilas. Wajah itu hampir pergi kalau bukan Damien yang sigap membuka pintu dan menarik lengan orang yang ditujunya.

“Silahkan saja, lanjutkan. Aku akan datang lagi nanti.” Fred siap berbalik arah namun pegangan Damien cukup kuat menahannya. “Bisa kau lepaskan tanganmu itu?”

“Tidak sampai kau bergabung di sini.”

Fred menatap berang. “Sebenarnya apa maumu, huh?”

“Ada yang ingin aku katakan,” ucap Damien serius.

Fred mendengkus. Ia menghempaskan tangannya kasar agar pegangan Damien terlepas. Diliriknya Sean yang masih mengalihkan pandangannya ke luar kemudian ia tampak pasrah. “Baik. Aku akan duduk,” jawabnya seraya masuk dan menutup pintu.

Sean tampak tidak terganggu saat Fred duduk di sebelahnya. Lihat saja? Ia bahkan masih sibuk menatap ke luar, seolah-olah apa yang ada di sana lebih menarik dari pada kedua orang yang sedang merasa canggung karena berada di satu ruangan yang sama.

“Aku minta maaf,” ucap Damien. Fred menatap bingung dengan sudut bibir kirinya yang menaik.

“Tidak salah dengar?” Fred mendengkus.

CanistopiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang