[19] Problematika

Start from the beginning
                                        

"Cuman saran Riz, saat ini cewek nggak butuh uang. Mereka butuhnya perhatian. Mungkin lima atau sepuluh tahun ke depan, mereka butuh laki-laki yang mapan." ucap Fian menaikkan bingkai kacamatanya.

"Ya gue udah memperhatikan dia, apa harus gue selalu di sampingnya dan memenuhi semua kebutuhannya? Kita jadi budak cinta apa?"

Dava berdecih. Ia menunjuk Fariz dengan jemarinya. "Heh, semua yang lo lakuin ke Tasya itu namanya budak cinta Riz. Mana ada cowok mau disuruh jemput habis pacaran sama orang lain? Gila lo."

Perkataan sarkas Dava ditanggapi mereka dengan tawa. Sementara Fariz cemberut karena kesal diledek oleh teman-temannya.

"Dava kalau ngomong suka bener. Kena kan lo. Rasakan!" ucap Galang meraih keripik kentang sambil mengejek Fariz.

"Ngobrol soal cewek kelas, mereka pada ribut itu kenapa sih?" ucap Farel bertanya-tanya.

"Ya jelas, mereka pasti beda pendapat lagi." ucap Satya menyahut. "Cewek kelas kita kan kayak medan magnet yang berbeda."

Ruangan yang luas itu hanya berisikan inti Thunderon Blade. Mereka memang sudah berlaku layaknya raja. Mengambil peran paling penting sebagai Kakak kelas paling tua. Kelas 12 yang ditakuti adik kelasnya.

Di sofa ada Satya dan Abay yang duduk berhadapan. Satya tidak berbuat apa-apa dan Abay merokok dengan santainya. Sementara sofa panjang berisikan Farel, Hendra, dan Fian. Farel bermain rubrik, Hendra mengaji, dan Fian sibuk dengan ponselnya.

Sementara Galang dan Kenan bermain ps bersama. Dava juga bermain game online. Fariz, ia larut dalam imajinasinya. Berbeda dengan mereka, Juan dan Royvan bermain billiard. Sedangkan Azka, ia sibuk melakukan hobinya meretas situs internet. Seperti biasanya.

Tak!

Royvan memasukkan bola sebanyak empat buah dalam sekali dorongan. Juan tidak terlalu terkejut karena Royvan sangatlah handal dalam hal ini.

"Menurut lo gimana Van?" tanya Juan memancing. Sedari tadi Royvan selalu diam. Berbeda dengan Azka yang sudah bicara sepatah kata. Royvan terlihat begitu dingin, walau sebenarnya juga seperti itu.

Royvan mendongak, meminta kejelasan atas pertanyaan Juan yang terlalu umum. "Maksud gue, apa pendapat lo tentang cewek di kelas kita yang pada musuhan?"

Farel menyela. "Ah kalau Royvan jangan ditanya. Dia nggak memperhatikan semua cewek, cuman satu doang. Jadi sia-sia menanyakan hal itu kepadanya."

Galang melepas stik ps dan mencibir Farel. "Ya itu sama kayak lo yang bucin banget ke cewek!"

Beberapa diantaranya terkekeh. Dava kembali berlaku julid. "Ya apa nggak kayak lo juga yang masih aja berjuang mendapatkan hati mantan! Ngaca Lang, kalau nggak ada, rumah Satya ada noh!"

Kini mereka tertawa atas ekspresi Galang. "Hei, lo juga berjuang mendapatkan hati cewek! Setidaknya gue udah pernah meluluhkan hati cewek. Lha lo? Sebiji aja kagak! Mana masih zona teman pula."

Dava memasang wajah pias. "Sabarlah bro, gue masih proses pendekatan nih. Perjuangan bakalan terasa di hasilnya, bukan sisanya!"

Baik Dava dan Galang sama-sama tak mau kalah. "Alah udah kalah ngeles!" ucap Galang. Akhirnya ia puas bisa memaki Dava.

"Royvan itu cuma memikirkan adeknya si bos. Percuma lo tanya gitu ke dia." ucap Juan menyeplos begitu saja. Royvan menatapnya dengan dingin. Sedetik kemudian lelaki itu menyodok bola putih berbenturan dengan bola lain hingga membunyikan suara amat keras. Seolah mengekspresikan kemarahannya yang terpendam. Juan sampai terperanjat.

"Buset, kenapa lo Van?"

Semuanya terkejut dengan bunyi keras itu. Abay bahkan sampai menoleh hanya untuk melihat ekspresi sahabatnya, yang pastinya menyiratkan guratan amarah sangat jelas.

SCIENCE 7 : UNITY IS PRIORITYWhere stories live. Discover now