[18] Satu Atap Berdua

Mulai dari awal
                                    

Ketenangan. Beryl mendapatkan ketenangan saat bersama Neo. Bersama Alkana, yang ada hanya rasa takut. Beryl tak nyaman, tapi dipaksa untuk nyaman. Beryl tak suka, tapi dipaksa suka. Beryl tidak suka hidupnya ditentukan orang lain.

Namun kalau bisa jujur, sepertinya Beryl mulai terbiasa bersama Alkana. Terbiasa yang mungkin bisa diartikan sama dengan kata nyaman. Entahlah, Beryl bingung menjelaskannya. Kenyamanan saat bersama Alkana berbeda dengan yang dia rasakan saat bersama Neo. Nyaman yang menegangkan dan tidak membosankan, kira-kira begitu.

Beryl sudah bangun lebih dulu. Mungkin dari jam lima, dan sekarang sudah jam setengah enam pagi. Beryl akan membangunkan Alkana, saat urusan Beryl sudah selesai dengan pikirannya sendiri.

Posisi mereka tak berubah. Alkana setia memeluk Beryl bagai guling. Hanya Beryl yang merubah posisi berbaringnya jadi menghadap Alkana. Agar lebih leluasa memandangi wajah damai laki-laki yang katanya begitu mencintainya.

"Udah puas mandangin aku, sayang?"

Astaga. Beryl terbelalak, menyadari Alkana sudah sadar dan sekarang baru membuka matanya lalu tersenyum manis.

"Anterin aku pulang, aku mandi di kosan aja." Beryl langsung mengutarakan keinginannya, tak ingin basa-basi.

"Disini aja. Tapi nanti, aku masih mau kaya gini sama kamu." Alkana enggan merubah posisi dan makin mengeratkan pelukannya. Ia masih mau bermanja-manja dengan gadisnya.

Mungkin Alkana belum pernah mengatakan ini, tapi jujur pelukan Beryl adalah yang ternyaman setelah bunda. Ah, Alkana sangat mencintai dua wanita cantik di hidupnya itu.

"Kita tuh gak boleh kaya gini, Alkana."

Dengan dahi berkerut, Alkana bertanya. "Gak boleh kenapa?"

"Ya gak boleh. Sedekat ini, belum muhrim lagi." Bukan Beryl sok suci. Tapi sungguh, ini karena Beryl belum terbiasa skinship selain pegangan tangan dengan lawan jenis.

Beryl pernah memeluk Neo, itupun bisa dihitung pakai jari karena mereka jarang bertemu. Dan Neo bukan tipe pasangan yang jika bertemu, akan seperti Alkana yang nempel terus dengan Beryl. Neo cenderung menjaga diri untuk tidak menyentuh Beryl. Paling sentuhan kecil, seperti usapan di kepala atau rangkulan. Itu saja sudah.

"Kamu siapnya kapan?" Alkana menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan Beryl bertatapan.

"Hm, gimana?"

"Aku halalin. Aku si siap-siap aja, besok ke KUA juga ayo."

Beryl langsung memberikan cubitan di perut Alkana bertubi-tubi, yang mungkin sebenarnya tidak berasa apa-apa tapi Alkana tetap menunjukkan ekspresi seolah kesakitan. "Ampun, sayang."

"Tapi aku serius, ayah aku udah nemu waktu yang pas untuk pertemuan keluarga kita."

"Bahas pertunangan?"

Alkana mengangguk yakin. "Langsung nikah juga gak apa-apa, lebih baik." Laki-laki itu terlihat sangat senang, terbukti dari senyumnya yang tak luntur setelah menjelaskan.

Sedangkan Beryl menghela nafas berat. Apa masa mudanya tak akan berjalan sesuai harapan? Sekarang hidupnya dikendalikan oleh satu orang. Beryl merasa tidak bebas.

"Aku mau pulang, mau mandi." Keluh Beryl, melupakan sejenak soal pertunangan. Ia gerah dipeluk terus menerus. Pulang adalah pilihan yang terbaik saat ini.

"Disini, kan?" Alkana memastikan.

"Nggak, di kosan."

Alkana menggeleng tak suka, bibirnya mencebik gemas. Ya, gemas minta ditampol.

TITANIUM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang