1. Sua Tanpa Suara

Start from the beginning
                                    

"Bukan temenku, Sa. Toh dia pungutan dari kolong jembatan juga," jawab Saddam tak kalah sengit. Pemuda itu mengetuk dinding dengan jemari telunjuk, menyimak perdebatan Asa dan Asun yang masih hangat.

Merasa geram dengan mulut kedua sahabatnya yang penuh seperti penuh cabai tersebut, tangan Asun langsung menggeplak kepala keduanya tanpa iba. Membuat kedua empunya memekik tak terima bersama.

Plak!
Plak!

"Kok aku melok digeplak?" Satu pemuda di samping kanan Asun tak terima menatapnya tajam.

"Kowe kompor, Saddam Amsterdam. Mulut kalian sama-sama pedes. Bedanya cuma yang satu pakai cara alus yang satunya langsung tembus usus. Gimana enggak sakit hati aku?" Asun menatap kesal ke arah kedua sahabatnya. Meringis sekaligus ingin menangis. Meski ia tahu, kalimat keduanya hanya sebatas guyonan.

"Lagian nyenengin Si Kecil apa salahnya sih, Sun? Geli juga anjir manggil Sun," tutur Saddam setengah kesal. Tangan kanannya sibuk digunakan untuk mengelus kepala yang terkena amukan manis dari Asun.

Masih di tempat, satu pemuda sedang meringis setengah tertawa miris. Melihat kedua sahabatnya saling unjuk rasa seperti orang berdemo tidak terima tentang undang-undang yang berlaku. Ataupun seperti para peserta yang sedang menyanggah pendapat pro-kontra ketika ajang perdebatan di atas mimbar panas. Suatu kebahagiaan melihat keduanya bertengkar hanya karena hal kecil yang pada awalnya dialah sumber kerusuhan. Sampai atensi Asun dan Saddam beralih menatapnya lekat. Saling menautkan alis sebagai tanda tanya besar di kepala.

"Lucu. Kayak Tom and Jerry. Saling membutuhkan, tapi masih suka gelut."

Beberapa saat hening menimpa ketiga pemuda tersebut yang tengah berdiri di koridor sepi. Sampai tatapan panas kembali ditujukan untuk si pencetus suara paling akhir, membuat si empu bergidik ngeri. Takut akan kemarahan kedua sahabatnya, anak itu pun segera melangkahkan kaki menjauh. Meninggalkan keduanya tanpa pamit selain cengiran khasnya nan polos.

"ANTARA KLAUSA RAHARDJUNA! AWAS, YA! ABIS ISTIRAHAT, TAK MUTILASI."

— •• —

Kegiatan pembukaan murid baru usai terlaksana. Taruna tinggi pemilik nama Klausa tengah duduk sendiri di pojok ruang OSIS. Mengabaikan celoteh ria milik beberapa teman yang jua tengah evaluasi kegiatan sekaligus membahas persiapan untuk esok hari. Baru beberapa hari kegiatan sekolah bermula saja, Asa sudah payah seperti ini. Bagaimana nanti ke depan.

Kepala milik pemuda itu bersandar di dinding. Sedangkan tangan kiri mencengkeram ujung almamater yang tak jua ia lepas sedari kegiatan berlangsung. Hanya waktu salat kemudian dipakainya kembali. Kedua netra terpejam erat. Akan tetapi, otaknya memutar rangkaian kejadian yang terjadi belakangan hari.

"Ngapain sih ikut organisasi sekolah gitu? Prestasi aja enggak pernah di rangking satu, sok-sokan aktif organisasi."

"Nilai kamu merah semua, berapa tahun kamu belajar di sekolah sampai enggak masuk semua materi yang diajarin guru? Cuma bikin malu keluarga aja."

"ASA! BELAJAR! JAM BIMBEL KAMU MAMA TAMBAH. LIHAT ITU ABANG KAMU, SATRIA. RAJIN BELAJAR TERUS. BANG ARDI JUGA SEKARANG UDAH JADI ORANG SUKSES. KAMU APA? CUMA MALU-MALUIN KELUARGA AJA!"

Tangan yang semula meremat ujung almamater, beralih pada dada kiri yang tiba-tiba timbul nyeri. Asa tak mengerti mengapa ucapan sang ibu belakangan ini selalu berputar di kepala. Ia sudah banyak berusaha keras, tetap saja tak mendapat apa-apa. Belum lagi ucapan para tetangga yang seringkali bergosip saat ia hendak pergi ke sekolah.
Organ sekepalan tangan manusia mendadak berdegub tak beraturan. Bukan hanya itu saja, Asa merasa oksigen yang seharusnya ia dapatkan gratis, entah raib ke mana. Sekarang Asa benar-benar payah di sudut ruang. Merasakan nyeri dada sekaligus dengan napas yang tak jua ia dapatkan.

Lantunan istighfar Asa gumamkan. Berharap rasa sesak yang menyelimuti sedikit berkurang. Sepertinya harapan yang Asa agungkan tak disetujui oleh Sang Kuasa. Bukan berkurang, Asa merasakan jantungnya seperti akan melompat dari tempat. Tubuhnya perlahan membungkuk dengan tumpu tangan kiri. Asa berusaha meraup napas sedemikian banyak agar suplai oksigen mengisi paru-paru, sayangnya untuk tarikan ketiga kalinya, justru teriakan kecil mengundang perhatian seisi ruang.

"Hei, kenapa?" Saddam berjongkok, menarik tangan kanan Asa agar tak melukai dadanya. Meski tubuh si muda terbungkus rapi oleh seragam. Namun, kepalan tangan yang memukul memiliki kekuatan cukup.

"O-ob-obat. D-di t-tas," jawab Asa terbata. Tangan yang tadinya mencengkeram dada kuat, berganti pada tangan milik Saddam.

Telinga Asa masih mendengar gaduh ruang dengan luas lima meter persegi, lalu sosok lain yang menyodorkan air mineral beserta dengan butiran penunjang kehidupan miliknya. Membantunya untuk menegak habis sampai pandangan sayu milik Asa bertemu dengan sosok tersebut. Ada Saddam dan Asun di sampingnya. Asa rasa, ia cukup beruntung saat ini. Memiliki dua teman yang dapat ia butuhkan di saat sekarat seperti ini.

"M-ma—"

"Jangan ngomong dulu! Napas yang bener," sela Asun cepat. Pemuda itu turut mengelus pelan punggung tubuh ringkih Asa. Lalu dengan cekatan melepas dasi juga almamater milik si muda. "Sekuat-kuatnya orang hebat, dia juga punya lelah, Sa. Bagi lelahmu sama kita. Aku sama Saddam enggak akan pergi, asal jangan mau kalah sama ini."

Tangan Asun beralih pada dada Asa, membuka kancing teratas lalu membaluri minyak kayu putih yang memang ia bawa ke mana-mana. Tatapannya beradu dengan manik bening milik Klausa. Sendu tanpa binar seperti biasanya. Asun menggeleng sejenak, turut mengusap peluh yang membanjiri dahi temannya. Ia tak tahu seberapa lama Asa kesakitan di pojok ruang, yang pasti Asun sangat terkejut tadi saat mendengar rintihan seseorang. Benar saja, Asanya tengah memendam lara.

"A-aku ndak papa."

Setidaknya dunia perlu percaya setengah dari ucapan si empu. Selebihnya, dusta memihak tak bisa diganggu gugat.

— •• —

[TBC]

Woah, salam manis baru ya dari Abang Asa. Semoga kalian enjoy dengan cerita ini.

Begitu saja, Pida cepet-cepet mau ke sarean dulu. Bubayyyy.

*Nb :
- Sampun = Sudah (Krama alus. Ditujukan kepada orang yang lebih tua)
- Ndek kene = Di sini
- Ngopo = Kenapa
- Gak ngunu = Bukan begitu
- Awakmu = Kamu (Penggunaan untuk sesama usia, misal teman ke teman)
- Wes diincer ket kae = Sudah diincar dari dulu
- Tok = Saja
- Piye to, kancamu iki = Gimana sih, temenmu ini
- Kowe = Kamu (Penggunaan untuk sesama usia.)

Imaji, 09:46 WIB
12.04.21

-15:52 WIB
11.09.21

Salam manisss dari Pidaaa^^

Katakan Asa [Open PO]Where stories live. Discover now