[9] Malaikat (tidak) Palsu

13 1 0
                                    

Bunda menelisik curiga pada kedatangan Bejo. Bunda tidak mengenal Bejo, tapi merasa bahwa wajah Bejo membuat Bunda terkenang masa lalu. Terbesit wajah seorang yang Bunda kenal dengan baik, namun Bunda hanya bisa membayangkannya. Nama orang tersebut tertahan di ujung lidah Bunda, membuatnya kelu barang sesaat. Bejo membantu Tomi untuk kembali berdiri dengan wajah penuh ketenangan. 

"Muleh Jo!" teriak seorang laki - laki tua dari balik kerumunan di depan warung makan Bunda. "Udah semua bubar! Lihat itu jalanan jadi macet."

Sosok Mbah Kulon yang kemudian muncul rupanya memantik emosi Bunda lebih tinggi lagi. Mbah Kulon mendekati Tomi dan Bejo seraya berbicara pelan. Mereka akhirnya pergi dengan sesekali menolehkan wajah dan melotot ke arah Bunda. Setelah kerumunan sudah dibubarkan, Mbah Kulon menatap Bunda dengan tatapan hangatnya, kedua tangannya disilangkan di belakang pinggang. Mbah Kulon tersenyum, lalu melangkah ke pintu warung Bunda.

"Warung tutup!" teriak Bunda.

Mbah Kulon terkejut, namun tetap tersenyum. Mbah Kulon lalu duduk di kursi di dalam warung sambil berkata, "Aku enggak pernah berniat pergi ninggalin kamu, Ningsih."

Mata Bunda berkaca - kaca mendengar perkataan Mbah Kulon, namun Bunda tetap bersikukuh dengan kekalutan emosinya. Bunda tidak ingin membuka cerita lama yang sudah terpendam jauh dibalik masa lalunya.

"Aku enggak peduli lagi sama niatanmu," ucap Bunda masih dalam posisi berdiri dan tolak-pinggang. Sementara Duta menarik Dera dan Arsya untuk masuk ke dalam kamar, membiarkan Bunda dan Mbah Kulon untuk menyelesaikan semuanya tanpa kehadiran mereka.

"Paijo itu dibawa lari Mang Engking waktu kabur dari rumah Braja. Kamu kira Mang Engking tidak punya mata - mata di dalam rumah laknat itu," jelas Mbah Kulon.

"Aku enggak peduli," jawab Bunda.

"Bagus. Kalau begitu aku pamit."

"Bawa itu cecungukmu! Jangan pernah balik lagi," sentak Bunda penuh amarah. 

Mbah Kulon berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati Bunda. Bunda keheranan namun tubuhnya membeku tak bergerak. Mbah Kulon mendekatkan wajahnya ke wajah Bunda sampai mata mereka saling bertemu dalam jarak yang nyaris tanpa batas. 

ccuupppp....

"App... Apa ini!" teriak Bunda menghardik Mbah Kulon yang tiba - tiba mencium keningnya.

"Ini yang terakhir," Mbah Kulon menjawab tenang dengan senyumnya yang sangat menawan. Bunda dibuatnya terdiam. 

Apakah ini yang dirasakan Bunda. Inikah rasa cinta yang kembali merekah, padahal usianya sudah begitu renta. Bukankah cinta itu menghadirkan bahagia, tapi kenapa Bunda sepertinya lebih ingin bersedih. Bukankah cinta menumbuhkan rasa memiliki, tapi kenapa Bunda sepertinya lebih seperti merasakan kehilangan. Ingin bersedih namun tertawa dan ingin berbahagia namun malah menangis.

Dalam lamunan, Bunda tidak benar - benar menyadari bahwa Mbah Kulon sudah pergi menjauh dari hadapannya tanpa menyampaikan sepatah katapun. Bunda hanya terkesima dalam diam. Mbah Kulon sudah benar - benar hilang dari hadapannya saat Bunda sepenuhnya kembali sadar dan menoleh kesana - kemari. Sementara Duta di dalam kamar tiba - tiba menangis. Dera keheranan melihatnya.

"Kamu kenapa?" tanya Dera.

Duta hanya menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Kita harus pulang sekarang."

"Kenapa?"

"Aku punya firasat jelek."

Dera pun mengikuti perkataan Duta. Setelah pamit ke Bunda, mereka pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Dera tidak melepaskan Duta begitu saja. Dera menidurkan Arsya dan kembali ke teras menghampiri Duta yang tidak henti - hentinya menangis sesenggukan.

DERA.Where stories live. Discover now