[3] Malaikat Palsu

29 17 4
                                    

"Katanya Tomi mau kesini Bun", ucap Dera sambil mengaduk sayur sop di dalam panci.

"Kata siapa ?"

"Dia tadi kirim whatsapp katanya mau kesini pas jam makan siang. udah kangen masakannya Bunda katanya"

"Masa ?"

Dera melihat bunda dengan heran. biasanya Bunda akan senang mendengar kabar kalau Tomi akan datang ke warung Bunda untuk makan. tapi tidak untuk kali ini. Dera sebenarnya merasa kalau ada rahasia diantara Tomi dan Bunda yang tidak diketahuinya. akhir tahun lalu sebelum Ayah meninggal, Tomi jugalah yang membantu biaya tindakan operasi Ayah dan biaya perawatan selama di rumah sakit. tapi apa daya, penyakit kanker Ayah sudah masuk Stadium IV dan hampir mustahil untuk disembuhkan. Bunda dan Dera cuma bisa pasrah.

Jauh sebelum penyakit Ayah diketahui, saat Arsya belum lahir, itu adalah awal - awal Tomi pertama kali makan di warung makan Bunda. Tomi adalah orang yang sangat santun sehingga Bunda dan Ayah sangat senang saat Tomi datang untuk makan. tidak jarang bahkan Bunda membungkuskan lauk dan sayur untuk dibawa Tomi setelah makan siang. 

Tinggi badannya mungkin hampir 180 cm. berat badannya mungkin juga ideal dengan tubuh yang padat berotot dibalut kemeja slim-fit. wajahnya berbentuk panjang dengan mata agak sipit. hidungnya mancung dengan bibir tipis dibawahnya. kulit tubuhnya putih bersih dan tubuh Tomi selalu wangi, entah parfum apa yang dia pakai. setiap dia datang, pewangi gantung di kipas angin selalu tereliminasi jika bertemu wangi parfum yang melekat di tubuh Tomi.

"Nah begini ini wanginya", gumam Dera memejamkan matanya mengendus - endus sambil membalikkan badan. astaga !!! ternyata Tomi sudah ada di belakangnya. Bunda asik mengupas bawang di meja dapur, pura - pura tidak tau dengan apa yang terjadi.

"Hey Ra, apa kabar ?", sapa Tomi tersenyum.

"Baik", jawab Dera singkat. matanya melihat tampilan Tomi kali ini. sepatu coklat, celana jeans biru dongker, sabuk coklat, kemeja slim-fit warna cream, jam tangan kulit warna coklat, dan . . . . kaca mata. "katanya kesini pas makan siang ? loh sejak kapan pakai kaca mata ?"

Tomi melepas dan memutar - mutar kaca mata berwarna abu metalik dengan bahan logam mengkilap miliknya sambil berkata, "ini ? ini kaca mata gaya aja kok. bukan lensa minus atau silinder."

Dera hanya mengangguk - angguk sambil kembali berbalik dan mengaduk - aduk sayur sop kembali.

"Udah ayo Tomi ke depan, nanti bau kompor badan kamu", Bunda menarik Tomi menuju ke meja di depan etalase makanan dengan terburu - buru.

"Gimana kabar kamu?", tanya Bunda sambil duduk di bangku yang bersebelahan dengan Tomi. sementara Dera masih di dapur, tapi sayup - sayup masih bisa mendengar pembicaraan Bunda dan Tomi.

"Baik Bun, Bunda sendiri gimana kabarnya ?"

"Udah enggak usah khawatirin Bunda, maaf ya kamu jadi kelamaan nunggunya"

Dera terkejut dengan perkataan Bunda tentang menunggu. apa yang dimaksud Bunda. bukannya justru Bunda yang berada dalam kondisi menunggu uang investasi Tomi. Dera berusaha menajamkan pendengarannya.

"Gak papa Bun, namanya juga perjuangan, pasti butuh pengorbanan dan kesabaran ya"

"Betul itu. terus gimana jadi kan renovasi warung Bunda?"

"Jadi Bun. lusa ada temen yang mau datang kesini kasih dokumen perjanjiannya. kalau Bunda sudah oke, minggu depan uangnya Tomi kirim 50% ke rekening Bunda. sisanya bulan depan."

Dera menyudahi memasaknya dan berniat untuk bergabung dengan Bunda dan Tomi. Dirapihkannya terlebih dulu kulit bawang diatas meja dapur dan sisa - sisa pekerjaan Bunda lainnya. saat Dera berbalik, ternyata Tomi dan Bunda sudah tidak ada di tempatnya. Dera keluar warung untuk mencari, namun tidak ditemukannya keberadaan mereka berdua.

DERA.Where stories live. Discover now