"Ya elah, baru juga gue sampai. Numpang istirahat, boleh kali?"

"Pulang."

"Nggak cocok lo ngomong dingin gitu ke gue, Tom." Doni tertawa, tapi langsung diam karena tidak ada jawaban dari Yonggi. "Lo marah beneran, Tom? Gue kan udah minta maaf."

"Gue bilang pulang, Don."

"Kenapa gue harus buru-buru pulang? Biar lo bebas marahin Lili, gitu?" Sekarang, Doni ikut bersuara keras. Dia sepertinya ikut terpancing emosi. "Ini salah gue, okay? Gue yang maksa dia ikut. Lo jang-mata lo ke sini, berengsek! Lo nggak lihat Lili gemeter, hah?!"

Ya, aku tidak bisa menahan untuk tidak gemetar. Tatapan Yonggi begitu menusuk. Aku sangat takut, melebihi apa pun.

"Aku bilang apa sama kamu?" Tiba-tiba, Yonggi meremas kuat pundak kiriku. Aku meringis kesakitan. "Tadi aku bilang apa?!"

"Yonggi, sa-sakit."

"Lepas, berengsek!" Doni menarik tangan Yonggi dariku, tapi dia malah kena tonjok hingga tersungkur ke lantai.

"Pulang lo. Gue nggak ada urusan sama lo."

"Urusannya sama gue karena gue yang ajak Lili pergi." Doni balas memukul wajah Yonggi. "Kuping lo udah hilang fungsi?"

"Karena itu lo pergi dari rumah gue!" Yonggi mendorong bahu Doni. "Gue camkan sekali lagi, yang berhak kasih izin Lili pergi atau enggak itu cuma gue. Yang berhak punya kendali atas hidup dia itu gue. Lo paham? Gue, berengsek!"

Doni menggelengkan kepala sambil tertawa sinis. "Gue nggak ngerti kenapa lo bisa berubah se-setan ini, Tom. Nggak gini caranya, lo tahu? Lili masih manusia. Dia punya rasa capeknya sendiri, Tom. Salahnya di mana kalau gue mau bikin dia seneng dikit aja, hah?"

"Salah, karena lo rebut hak gue. Karena yang boleh bikin dia senang atau sedih, itu cuma gue. Bukan lo, Nenek atau orang lain. Simpen itu baik-baik di otak lo!"

"Astaga. Dia tertekan, Tom. Harus sampai gimana lagi lo jerat Lili? Sampai yang tersisa cuma penyesalan dan nggak ada cara buat perbaiki lagi?"

"Itu terserah gue."

Sekarang Doni terpingkal. "Sakit jiwa lo!"

Aku menjerit. Doni mengucapkan kalimat fatal. Sekarang dia sudah tergeletak di lantai, dengan Yonggi yang kalap di atasnya. Dia terus memukuli wajah Doni dengan membabi buta, hingga sepupunya itu tak lagi bisa melawan. Dan aku yang ketakutan, memberanikan diri mendekat. Melangkah dengan lutut gemetar, dan ketakutan yang makin besar. Lalu ketika tangan Yonggi terangkat untuk memberi Doni pukulan lagi, aku cepat-cepat menangkap kepalan tangannya. Aku tahu ini namanya cari mati, tapi aku juga tidak bisa membiarkan Doni makin babak belur.

"Y-yonggi ... udah." Suaraku lirih sekali, hanya seperti bisikan.

Dan aku tersentak ketika Yonggi menoleh marah, bangkit lalu menepis tanganku. Sementara Doni ikut berdiri dan menatapku cemas.

"Aku ... a-aku minta maaf." Aku menunduk dalam-dalam, membiarkan air mata kembali membasahi pipi. "Aku yang salah. A-aku nggak nurut. Tolong, jangan pukul-pukulan lagi. A-aku minta maaf."

"Pulang, Don." Nada suara Yonggi merendah, tapi terdengar dingin. "Sebelum gue terlalu sakit jiwa buat ingat kalau kita saudara."

Aku menelan ludah. Ada kepahitan dari kalimat Yonggi. Baik aku dan Doni tahu penyebabnya. Mungkin karena itu pula kini Doni benar-benar menurut untuk pergi setelah sebelumnya menggumamkan 'gue balik dulu, Li' padaku. Setelah Doni pergi, hening mengambil alih. Kupikir Yonggi akan langsung marah atau berteriak padaku. Ternyata dia diam.

"Y-yonggi ...." Aku mencoba membuka suara setelah beberapa saat. "A-aku ... aku-"

"Murahan."

Mataku membelalak mendengarnya mendesiskan kata itu. Bahkan kini matanya menyorotku dengan kemarahan yang amat sangat. Bibirnya menipis. Dan sesaat setelahnya aku memekik, ketika dia mengusap rahangku tepat di bekas luka bakar.

"Gue jual rumah yang jadi saksi dosa dua berengsek itu, cuma buat operasi muka lo yang rusak ini." Dia membisikkan itu dengan suara yang mengerikan. "Gue berkorban atas semuanya cuma biar lo bisa hidup layak. Tapi ini balasan lo? Menggoda sepupu gue sendiri dengan sama murahannya kayak yang ibu lo lakuin ke laki-laki berengsek itu? Hebat. Keren!"

Dia tertawa keras. Sementara aku mulai terisak. Sakit sekali. Aku pernah merasakan luka tertusuk peniti, tergores silet atau pecahan kaca, tapi rasanya tidak seperih ini. Bahkan aku lupa bernapas hingga tersengal-sengal dalam tangis. Ini pertama kalinya dia menggunakan kata 'lo-gue'. Ini pertama kalinya dia bilang aku murahan dan menggoda Doni. Dan ini pertama kalinya, dia membuatku berdarah-darah hanya karena mengingat Ibu.

Lavender benar. Aku harus segera merasakan luka yang nyata lagi. Kembali melihat darah, setelah sekian lama aku mencoba berhenti. Dengan begitu, aku bisa melupakan kalimat Yonggi.

***

Ya .... gitu deh

To Reveal It (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang