ini keempat puluh dua

Start from the beginning
                                    

"Emang sulit banget ya?"

Para menaikkan alisnya seolah pertanyaanku itu sulit dicerna dan membuatnya bingung. Aku berdehem, "Milih minum doang emang sulit banget?"

Bibirnya tertarik, "Engga sih. Tapi kan kamu picky person. Di kantin sekolah aja, dua tahun mesennya cuma es teh atau capucino doang."

"Kok kamu tahu?"

"Tahulah. Kan punya mata."

"Yauda capucino aja. Kasih cincau," kataku akhirnya. Para mengangguk, dan memesankan minum untukku dan dirinya juga. "Kembang apinya jam berapa deh?"

"Sembilan. Kenapa emang?"

Aku menggeleng. Masih satu jam lagi. Karena kakiku rasanya sudah engga kuat untuk diajak berjalan, aku berkata, "Aku mau duduk aja nungguin kembang api. Kamu kalau mau ke bazar engga apa kok. Aku di sini nunggu."

Aku lantas memilih duduk di bangku yang tersedia di taman kota. Kukira Para memilih untuk meninggalkanku sendiri dan pergi ke bazar (karena katanya ada buku yang ingin dia beli), tak tahunya dia mengikutiku dan duduk.

"Loh? Engga jadi ke bazar?"

"Nanti aja."

Aku mengangguk. Kami lantas duduk Padahal suasana sekitar kami terasa sesak dan ramai. Tapi semenjak aku mengakui bahwa aku menyukainya, justru aku merasakan kikuk dan rasanya hanya ditinggalkan berdua saja dengan Para di pusat kota ini. Tapi ketika melirik dari sudut mataku, Para justru terlihat biasa saja, mungkin hanya aku yang merasa kikuk.

Aku berdeham. Baru ingin mengungkit pernyataannya waktu itu, sebelum getaran dari ponselku terasa. Itu pesan dari Joan.

Kunyuk Joan

Sumpah anjrit, gue denger-denger, Reihan bakal pindah sekolah!🤸🤸

Rumi Praba

Sumpahh?? Denger dari siapa lo?

Kunyuk Joan

Gue denger dari Fitri. Bokap dia kan bagian administrasi sekolah kita👅

Aku mengabaikan emot menjilat yang engga sesuai konteks itu. Aku juga engga membalas pesan Joan. Menoleh ke Para, dan bertanya, "Kamu tahu?"

Dia memandangku, alisnya yang tebal itu terangkat, "Tahu apa?"

Kalau jawabannya seperti itu dia berarti engga tahu. Aku lantas berkata, "Kata Joan, Reihan keluar dari Tribhuwana?"

"Bagus lah."

Aku menatapnya dengan pandangan menelisik. Mencari tahu apakah ada hubungannya dengan dirinya. Tapi, Para hanya menatapku lurus dengan alis naik satunya itu. "Kenapa? Sedih?"

Aku mencebik dan menggeleng. "Engga ada hubungannya sama kamu 'kan?"

Bibirnya menyeringai. "Kalau khawatir bilang aja, Rumi. Engga dipungut biaya sama sekali."

Aku kembali mencebik. Beberapa menit kembali diisi kehening. Aku meliriknya yang masih menatap ke depan, melihat atraksi yang memang di depan kami. Aku lalu berbisik, "Itu ... yang kemarin ..."

Yang sayangnya bersamaan dengan dirinya yang juga berujar, "Kamu tahu, Rumi?"

Aku menelan ludah dan kata-kataku lagi. Menatapnya secara lurus. Tanpa menoleh padaku, Para kembali berkata, "Aku selalu merasa kalau kamu cuma manusia yang sekadar lewat, yang kulihat selentingan detik. Tapi, entah kenapa sejak saat itu mataku pasti selalu bisa menemukanmu. Di manapun. Aku selalu merasa kalau saraf mataku rusak."

to be young and in love [end]Where stories live. Discover now