[19] Manusia dan Peran Mendengar

Mulai dari awal
                                    

"Sehat-sehat, Mbak. Kalau ada apa-apa, kabari Ibu." Itu pesan Bu Erum setiap kali datang menemuinya. Yang selalu Ladin doakan agar tidak di-aamiin-kan oleh malaikat mana pun. Ia enggan hidup sehat bersama racun di kepalanya.

Ladin memijat keningnya sebentar sebelum mengambil map di kursi dan berdiri, hendak mencari ruang guru di sekolah yang didatanginya siang ini. Tugas mata kuliah Perkembangan Anak Berkebutuhan Khususㅡmata kuliah peminatan yang sebenarnya tidak Ladin minatiㅡmengharuskannya datang ke sekolah inklusi di Semarang untuk wawancara dan observasi.

Jika nanti ia sudah memberikan surat izin ke ruang guru, Ladin sudah berniat akan pergi ke mana saja hingga larut malam, baru pulang. Ia tidak mau melihat Ayah di rumah, dan kabur sejenak adalah pilihan yang tepat baginya.

Dari sekian banyaknya stimulus di sekitar Ladin sekarang, satu-satunya yang mampu mendistraksinya adalah sosok laki-laki yang berdiri tak jauh dari posisi berdirinya. Ladin praktis berhenti berjalan saat melihat sosok Kala bersama anak kecil di sebelahnya, dengan pakaian super rapi yang sangat-bukan-Kala.

Untuk sesaat, ia mematung. Ladin harus bagaimana saat bertemu Kala? Menyapanya? Pura-pura tidak kenal? Atau bagaimanaaa?

"Ladin?"

Saat pikirannya yang bergulat sudah menemukan jawaban final untuk berpura-pura tidak kenal, Kala justru menyapanya dengan sorot terkejut, juga senyum tipis yang terulas di wajahnya. Ladin tidak memiliki pilihan apa pun selain menoleh dengan kikuk dan ikut berpura-pura terkejut.

"Wow." Kala tertawa singkat. "Cukup mengejutkan ketemu kamu di sini."

"Aku harusnya bilang hal yang sama," balas Ladin tak mau kalah. "Ngapain di sini?"

"Magang. Aku bukannya pernah bilang, kalau aku magang di sekolah inklusi?"

Ladin mengangkat bahunya. "Mungkin bukan suatu hal yang penting, jadi nggak aku ingat."

Kala semakin tertawa mendengarnya. "Talk to you later. Aku mau nganter dia ke gerbang sekolah dulu."

Alis Ladin berkerut, sedikit tidak setuju dengan 'ajakan' Kala untuk mengobrol. Bola matanya lantas melirik anak perempuan di samping Kala, kemudian tersenyum kikuk. Menjadi anak satu-satunya di keluarganya selalu membuat Ladin kikuk saat harus berinteraksi dengan anak kecil. Dengan pengalamannya yang sangat minim, ia mencoba menyapa dengan suara pelan. "Halo? Mm, namanya siapa?"

Anak perempuan itu membuka mulutnya seraya mengangkat tangan kanannya; melipat jari tengahnya di belakang jari telunjuk, mengepalkan tangan dengan jempol terangkat, melipat kembali jari tengahnya di belakang jari telunjuk, lalu mengepalkan tangan dengan jempol terangkat. Bibirnya bergerak seiring dengan huruf di tangan kanannya yang berubah, mencoba melafalkan isyarat tangannya.

 Bibirnya bergerak seiring dengan huruf di tangan kanannya yang berubah, mencoba melafalkan isyarat tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menyadari itu, Ladin melirik Kala untuk meminta bantuan.

"Namanya Rara."

"H-hai, Rara." Ladin tidak pernah memiliki pengalaman berinteraksi dengan teman tuli, sehingga tangannya bergerak serba salah membentuk bahasa tubuh yang dikarangnya sendiri. Ia menggigit bibir, memohon maaf dalam hati sebab tidak dapat berucap apa pun.

Fase dalam Lingkaran [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang