5

62 17 1
                                    

Adam yang tengah asik berjalan di koridor seorang diri, tak sengaja melihat Agam sahabatnya tengah berjalan kearah masjid.

Mengecek jam tangannya, Adam mengerutkan kening, padahal ini baru jam 8 pagi, kenapa Agam rajin sekali pergi ke Masjid. Lantas kakinya berbelok mengikuti langkah Agam.

Sepuluh menit terlewati, Adam menunggu dengan sabar kehadiran Agam di depan Masjid. Ia ingin menanyakan sesuatu kepada Agam. Sesuatu yang selalu menganggu pikirannya akhir-akhir ini dan berharap Agam bisa menjawabnya.

"Loh Dam. Abis salat Dhuha juga?" tanya Agam yang baru keluar dari Masjid dengan songkok hitam tersemat di kepalanya.

Adam tersentak kaget, cepat-cepat ia berdiri dari duduknya seraya meringis pelan. Ia merasa malu atas pertanyaan Agam barusan. Boro-boro salat Sunnah, Salat wajib aja suka bolong.

Adam memposisikan diri duduk di samping Agam yang tengah memasangkan sepatu. Melirik sekitarnya sebentar dan dirasa sudah aman. Dengan ragu, Adam ingin bertanya, tapi urung.

"Kalau ada yang ingin ditanyakan. Tanyakan saja Dam, insya allah dijawab sebisanya," celetuk Agam yang mengerti melihat gelagat Adam.

"Jadi begini Gam, gue lagi suka sama seseorang," jelas Adam.

Agam terdiam, ia dengan khusyu mendengar curhatan Adam di sampingnya.

"Gue pikir, dia sama aja kaya cewek yang pernah gue temuin, tapi pikiran gue salah Gam. Dia berbeda." Tatapan Adam menerawang jauh ke depan. Ia mulai teringat saat-saat pertama kali bertemu dengan Rana.

"Dan dia pernah bilang gini ke gua Gam. Sebaiknya kamu tanyakan pada yang lebih berhak atas diri saya." Adam terdiam beberapa saat lalu melanjutkan kembali. "Gue nggak ngerti maksud ucapan dia, gue bingung Gam dengan kata-katanya."

Agam tersenyum simpul. Tubuhnya ia sandarkan pada tembok di belakangnya dengan sorot mata yang terus menatap daun yang berguguran dari pohonnya. "Maksud perkataan dia itu. Tanyakan pada yang menciptakannya yaitu Allah Dam."

"Jika kamu mencintai dia. Kamu harus mencintai dulu sang penciptanya dan mencintainya karena Allah," tuntas Agam.

Adam terpaku mendengar penjelasan Agam. Jadi ini arti yang di maksud perkataan Rana. Sesimpel itu, tapi berat untuk dijalankan.

-----

Raya terus memperhatikan Rana di sampingnya. Ia ingin sekali bertanya satu hal padanya, tapi ia malu. Raya akui, sejak pertama kali melihat Rana. Ia langsung kagum terhadap Rana yang percaya diri berjalan di antara para murid dengan penampilan yang berbeda.

Memang. Ada beberapa orang yang juga memakai jilbab, tetapi paling banyak hanya ada di kelas dua belas.

Setelah seminggu mengenal Rana, Raya suka sekali dengan sifat Rana yang sabar dan ceria, membuat Raya semakin ingin terus berada di dekat Rana. "Rana?" tanya Raya sembari berbisik-bisik.

Rana yang tengah membaca sebuah komik, dibuat bingung melihat kelakukan Raya yang berbicara berbisik-bisik padanya.

"Enak nggak sih pakai jilbab?" tanya Raya penasaran.

"Banget!" jawab Raya ceria, ia sampai meletakan komiknya asal.

Orang-orang yang berada di kelas langsung menatap Rana dengan tatapan aneh. Seketika Rana terdiam dan meminta maaf.

Raya memiringkan kepala, kedua matanya membulat ingin tahu. "Nggak gerah?"

"Nggak!" Rana membalas dengan antusias. Ia sangat senang mendengar Raya akhirnya tertarik dengan jilbab.

Semburat merah keluar dari kedua pipi Raya, dengan malu-malu Raya bertanya seraya mengetuk-ngetuk kedua tangannya. "Jelasin lagi dong. Kenapa kita harus pakai jilbab?"

"Ehem," Rana berdehem sebentar untuk mengetes suaranya. "Banyak yang mengira jilbab hanya sekedar penutup rambut."

Raya dengan semangat mendengar penjelasan dari Rana.

"Lebih dari itu. Jilbab juga bisa dibilang pakaian Takwa dan sebuah kewajiban bagi wanita muslim," tuntas Rana.

"Pakaian takwa?" bingung Raya.

"Iyaa, untuk menundukkan pandangan kita dari dosa mata dan hati. Allah perintahkan kewajiban menutup aurat ada di Surah An-Nur ayat 31." Rana membuka-buka buku kesehariannya yang selalu ia bawa kemana-mana. "Nah ini dia artinya."

Katakanlah kepada wanita yang beriman: 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.'

Raya membacanya dengan serius. "Kalau memakai pakaian secara syar'i, itu ketentuannya seperti apa Ran?"

"Memakai pakaian secara syar'i itu yang pertama, jilbab harus menutupi sampai sebatas dada, pakaian yang tidak memperlihatkan lekuk tubuh, serta menutupi mata kaki atau bisa memakai kaus kaki," jelas Rana dengan jari telunjuk yang bergoyang ke kiri dan ke kanan.

Ekspresi Raya berubah menjadi murung, setelah mendengar ketentuan yang menurutnya sangat sulit untuk dilakukan sekarang. "Tapi aku belum siap untuk berjilbab syar'i."

"Kitakan sama-sama sedang berproses dan belajar. Kalau belum mampu sekarang bisa besok..." Rana menepuk-nepuk pundak Raya pelan.

"Kalau belum mampu besok, ya besoknya lagi. Yang penting, mau merubah diri ke arah yang lebih baik," tuntasnya.

Raya tersenyum lebar, ia langsung memeluk Rana dengan hangat. "Iya! Semoga bisa!"

Cinta yang sebenarnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang