Semakin sore, hari semakin terik di Mahajana. Toko roti yang menghadap ke barat tersebut menerima cahaya matahari penuh. Warna jingga memenuhi segala sudut ruangan. Bayangan perabotan membentuk sudut lancip mengaburkan cat warna pastel tembok toko. Sachi tengah menghitung bahan baku yang digunakan untuk menyediakan lima ratus paket roti untuk minggu depan. Sepertinya Sachi harus menutup toko rotinya untuk hari minggu esok. 

Ia mengistirahatkan kakinya sebentar. Ia membutuhkan bantuan, tapi siapa yang bisa membantunya membuat kue? Dia tidak memiliki kenalan yang bisa membuat kue? Nama Dimas terlintas di kepalanya. Dimas adalah anak pemiliki toko bahan baku kue, pasti ada kemungkinan Dimas memiliki kenalan seseorang yang juga bisa membuat kue. 

Tepat saat Sachi menutup kembali ponselnya, loceng pintu kembali berbunyi. Sachi segera bangun dan membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Lagi-lagi Hayam Wuruk muncul dengan setelan kantor yang sama dengan tadi pagi.

"Hai!" sapanya dengan riang.

"Ha-halo juga, ada yang bisa dibantu?" Entah mengapa Sachi tidak bisa menutupi kegugupannya. Padahal baru tadi pagi Sachi dan Hayam mendeklarasikan bahwa mereka berteman tapi Sachi sendiri tidak tahu harus bersikap seperti apa sebagai seorang teman.

"Kopi hitam satu ya, Chi, nggak pake gula."

"Ok, tunggu sebentar ya, Kak."

Hayam mencari kursi kosong yang tidak langsung terkena sinar matahari sore. Ia menuju meja pojok ruangan, satu-satunya meja dengan sofa panjang. Sepertinya meja itu dikhususkan untuk keluarga. Sachi membawa secangkir kopi hitam dan meletakkannya di hadapan Hayam.

"Duduk di sini saja, kalau nggak ada kerjaan."

"Aku masih mau cuci beberapa piring bekas makan pelanggan di belakang."

"Aku boleh bantu?"

Sachi segera menolak, "Eh? Nggak usah, Kak! Cuma beberapa kok."

Aneh-aneh saja batin Sachi. Sejak kapan pelanggan ikut membangu mencuci piring? Meskipun mereka kini berteman tapi tetap saja canggung dengan perubahan secepat itu.

Hayam hanya mengangguk sebentar membiarkan Sachi berlalu di balik pintu di belakang meja kasir. Entah mengapa kakinya tak bisa diajak berdamai. Setelah menyeruput kopinya dua kali, Hayam bangkit dan ikut masuk ke dalam ruangan belakang.

Pria itu melongokkan kepalanya mencari keberadaan Sachi. Selama di dalam, Hayam sempat terpukau dengan dapur yang sangat luas, bersih dan rapi. Tak ada noda debu sedikit pun saat Hayam menyolekkan telunjuknya pada permukaan meja. Paling-paling terdapat tumpahan tepung di atas telenan dan lantai. Aroma manis menyeruak memanjakan indera penciumannya.

Rasanya Hayam tengah mengintip jati diri Sachi sesungguhnya di dalam ruangan itu. Hangat dan manis. Hayam mengistirahatkan kedua tangannya pada saku celana sambil melihat sekeliling. Sebuah kertas jadwal tergantung di samping kulkas besar. Kepalanya menggeleng melihat jadwal tidur Sachi yang hanya dua jam sehari. 

Setelah menutup toko, Sachi menyiapkan adonan dan menguleninya hingga pukul dua belas malam. Setelahnya Sachi beristirahat dan jam dua pagi Sachi kembali bangun untuk mengolah adonan yang sudah didiamkan. Dia juga terkadang memiliki jadwal gila dalam mengurus perusahannya tapi kadang Hayam masih bisa mangkir dan pergi bermain ke panti jompo tempat teman-teman lansianya berada.

Senyumnya terbentuk membayangkan Sachi berkeliaran di dalam ruangan tersebut. Hayam bisa melihat bagaimana Sachi duduk mengusap peluh di kursi sembari memandangi kue atau roti yang mulai mengembang di dalam oven.

Lamunan Hayam terhenti saat mendengar suara berdenting. Terlihat Sachi muncul dari pintu belakang dengan kesusahan. Kedua tangannya mengangkat bak berisikan piring-piring kecil serta banyak cangkir. Beberapanya terlihat basah yang artinya baru selesai dicuci. Sachi masih belum sadar akan keberadaan Hayam yang memandanginya.

MAHAJANA (Spin Off MADA)Where stories live. Discover now