6. Pindah Sekolah

185 172 20
                                    

Repot.

| Qilefyi Kirana Putri |

—o0o—

Seorang lelaki dengan seragam barunya mengoleskan selai cokelat ke roti, wajahnya berseri-seri, terus tersenyum sampai membuat seorang gadis berusia 4 tahun lebih tua darinya merasa heran.

Chika Telgran, dia menatap sang adik aneh, sejak tadi melihat Revan selalu tersenyum. Sambil menyuapkan sarapannya ke mulut, dia bertanya penasaran. "Segitu senengnya, ya lo pindah sekolah?"

Revan mengangguk cepat. "Iya. Selain terhindar dari hukuman di sekolahan gue dulu, gue juga bisa liat pacar setiap hari di sekolah baru!" Revan memekik senang.

Kemarin setelah pulang dari rumah sakit, Revan buru-buru membujuk sang Papa untuk mengurus pemindahan sekolahnya. Dia ingin pindah ke SMA Sakti Mulya dengan alasan menjaga Kirana. Tentu saja Papanya membolehkan, Kirana itu sudah seperti putri kandungnya sendiri. Selagi niat Revan pindah sekolah baik, pria itu membolehkannya saja.

Tepat hari ini, Revan mulai bersekolah di SMA Sakti Mulya. Keluarga Telgran tak perlu repot-repot mengurusi pemindahan sekolah tersebut, dengan mudahnya Revan langsung pindah walau baru kemarin sang Papa mengurusnya.

Tentu hal tersebut patut Revan syukuri. Di sekolah baru, hukuman baru. Sekolah lama, hukuman lenyap. Begitu bahagianya dia tidak lagi menjalankan hukuman yang selalu menimpanya, terlebih tugas-tugas yang memuat di otak. Kalau ada tugas, semua dia serahkan kepada sang sahabat.

Alhamdulillah, weh ...

Chika mendengus, memicingkan matanya serius. "Gue adu ke Papa, ya kalo lo pacaran?" Dia mengancam Revan kesal.

"Eh, jangan, Kak! Jahat amat lo."

"Jangan terlalu bangga punya pacar, kalo putus nangis-nangis lo!" Chika mengejek, mengenal betul sifat adiknya.

Revan mengelak. "Cowok kek gue ini tegar, Kak! Jangan diremehkan dan nggak perlu diragukan."

Chika menyorot tidak peduli, kembali dia mengingat kejadian di mana Revan menangis pilu karena diputuskan oleh mantan pacarnya.

Tanpa sengaja Chika melihat pintu sang adik sedikit terbuka, berniat ingin melihat keadaan Revan, dia dikejutkan karena lelaki itu tengah merobek-robek sebuah foto di atas tempat tidur secara brutal dan air mata menetes deras.

Sambil menangis sesenggukan, Revan berucap. "Jahat! Tega banget kamu nyakitin hati aku, padahal aku sayang sama kamu, Baby." Dia kembali menangis histeris, guling guling.

Chika memilih tidak menyaksikan Revan yang tengah patah hati, dia tak sanggup menahan tawanya dengan ucapan sang adik. Lebay sekali. "Gila juga anak jaman sekarang. Putus cinta kek apa aja."

Revan terkekeh polos, menggaruk tengkuknya malu. Dia salah tingkah diingatkan kembali dengan kejadian tersebut. "Ah, bisa aja bercandanya."

Gadis dengan rambut tergerai indah dan wajah dibalut make up tipis itu menaruh secangkir teh yang telah diminum, beranjak dari duduknya. "Gue duluan," pamitnya berjalan keluar rumah.

Segera Revan mengikuti langkah sang kakak, berusaha tidak meneteskan air mata saat teringat masa indahnya dulu bersama mantan kekasih. Dengan senyuman secerah mentari, menghentakkan kaki semangat, mengepalkan tangannya ke udara, dia bersorak. "BECCA TETAP DI HATI!"

***

Kirana menatap Revan dengan kening mengkerut, tatapannya begitu mengintimidasi. Lelaki di hadapannya kini cengar-cengir sedari tadi, dan lebih anehnya ... mengapa Revan memakai seragam sekolah yang sama sepertinya?

Malas bertanya, biarkan saja Revan yang akan menjelaskan. Kirana memilih melanjutkan bacaan, menghiraukan Revan yang makin menunjukkan sederet giginya. Lelaki di hadapannya kini pindah duduk di sebelah, masih memamerkan senyuman lebar. Ingin sekali Kirana merontokkan giginya saat itu juga.

Winny menaruh sebuah buku di atas meja, menatap dua sejoli itu tenteram. Tentu saja pakaian Revan membuat dia bertanya-tanya. "Revan—" Kalimatnya dipotong cepat.

"Iya, Revan pindah sekolah ke tempat Kirana." Dia semakin tersenyum, pertanyaan tadi yang sedari tadi ditunggu. Revan menoleh ke sang sahabat yang masih menghadap buku. "Gue bakal jagain lo, Kir, biar nggak ada kejadian yang tidak diinginkan lagi."

"Banyak bohongnya." Kirana tidak percaya. "Tuh, buku tugas lo."

Revan menggeleng, "Nggak perlu, sudah nggak dipake. Sekarang, 'kan gue sudah jadi anak SMA Sakti Mulya, nggak ada tugas apapun." Semakin menyengir selebar senyuman kuda, membuatnya di mata Kirana terlihat mengesalkan.

"Alah."

Winny sedikit terkejut mendengar Revan yang pindah sekolah demi melindungi putri tunggalnya. "Kamu terpaksa atau gimana, Revan? Tante jadi berasa nggak enak."

Revan menunjuk senyumannya. "Tante nggak liat senyuman menawan ini? Revan sama sekali nggak keberatan pindah sekolah demi melindungi sahabat terbaik Revan ini." Lelaki itu merangkul pundak Kirana, sang empu hanya diam tak bergeming membaca benda favoritnya.

"Alasan. Paling seneng gara-gara liatin Becca setiap hari." Kirana menuduh, melirik Revan yang nampak cengengesan dan melotot samar ke arahnya. "Cengiran kudanya, Sahabat ..." Kirana menarik sudut bibir Revan ke atas, membuat lelaki itu terpaksa kembali melebarkan senyum indahnya. Kirana terkekeh puas, lantas beralih membaca bukunya yang 14 lembar lagi akan tamat.

"Bersyukur banget Tante kalo sahabat Kirana kayak gini. Makasih banyak, ya, Nak Revan. Tante juga nitip Kirana, jagain baik-baik, ya," pesan Winny terharu.

Revan mengangguk hormat, merangkul Kirana semakin erat. "Revan bakal jaga baik-baik, biar Kirana nggak jatuh ke selokan kek dulu." Revan mendengus prihatin, "Buku memang membawa pengaruh buruk untuk Kirana."

Mendengar hal itu, Kirana menyikut Revan kasar. Kesal karena setiap masalahnya selalu dikaitkan dengan buku kesayangan. "Ma, jangan nitipin Kirana ke Revan. Ditinggalin pacaran mah ada sama nih anak!"

"Eh, gue nggak pacaran, ya, Kir! Fitnah!"

"Ulang lagi ucapan lo, mau gue rekam terus kirim ke Becca. Ayo, Van, ulang!"

Winny kembali dibuat terkekeh dengan geleng-geleng kepala oleh keduanya. Kirana dan Revan mampu membuat suasana baru dihidupnya, percekcokan mereka membuat Winny terhibur. Antara akur dan tak akur, mereka senantiasa menjadi pembangun semangat wanita baya itu.

Mendengar adu mulut antara Kirana dan Revan tidak ada habisnya, Winny pun melerai. "Eh, ayo cepet berangkat. Tuh, sopir taksinya nunggu." Winny menunjuk keluar rumah, di mana sopir taksi tengah memainkan ponsel sambil menunggu langganan taksinya keluar dari dalam rumah.

Revan menghembuskan napas, mencium punggung tangan Winny dan berjalan lebih dulu menuju taksi. Kirana menyusul, tertatih membuka pintu mobil dengan tatapan tetap fokus ke buku. Winny tersenyum, melambai ke arah mereka dan dibalas riang oleh keduanya.

Kirana melirik Revan, lelaki itu menatap ponselnya cengar-cengir. Dia mendengus, pasti sedang bertukar pesan dengan Becca. Dalam hati, Kirana menggerutu membayangkan Revan yang akan mengatur-aturnya di sekolah nanti.

"Nih Pak sopir nggak merasa bersalah apa sudah nuntun hidup gue ke dalam kerepotan?" Kirana menatap sopir taksi tersebut dengan bengis.

KiranaWhere stories live. Discover now