"Semangat, ya. Aku yakin, kamu kuat. Cobaan Tuhan masih berlanjut sampai orang-orang menyesal nantinya," ucap seseorang dari belakang gadis itu tiba-tiba, lalu duduk santai di sampingnya.

Gadis itu menoleh, mendapati Zay yang dengan santainya memakan keripik kentang. "Kamu nggak akan ngerti, Zay," balasannya pelan.

Zay menoleh, lalu menatap lurus ke depan. Ia menuntun kepala Zia untuk bersandar dibahunya. "Aku hidup tanpa kasih sayang Ayah, Bunda, ataupun Zoa, Kakak sekaligus saudara kembar aku," lanjut Zia yang mulai terisak pelan.

"Zay ... kadang, aku berpikir untuk mengakhiri hidup ini," gumam Zia menatap intens Zay.

"Tapi ... Bohong, yha!" seru Zia tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zay yang sangat jarang dilihat olehnya.

Zia terdiam, ekspresinya berubah datar. Bisa-bisanya Zia mempermainkannya. "Zi!" tegurnya membuat Zia memberhentikan tawanya.

"Kenapa, nggak lucu, ya?" tanya Zia dengan wajah polos.

Lelaki itu mengangguk mantap. "Aku jadi pengin bawa pulang kamu, karungin, terus lempar ke sungai Amazon," dumelnya.

Zia terkekeh geli. "Selama ada kamu, aku mungkin nggak ngelakuin itu," ucapnya penuh keyakinan.

"Mending kamu lampiasin semua ke aku, jangan nyakitin diri sendiri lagi," pinta Zay menatap Zia memelas.

Zia menghela napasnya pasrah. "Sulit, Zay," ucapnya lirih, ia menundukkan kepalanya menatap sepatu yang ia pakai.

"Ayo masuk!" ajak Zay menarik lengan Zia lembut.

Zia mencibik kesal, ia berjalan dengan mengentakkan kakinya membuat Zay terkekeh. "Jangan gitu, nanti-"

Brak!
Baru saja Zay memperingatinya, kini Zia sudah terjatuh di lantai koridor kelas. Zia terjatuh menabrak seseorang.

"Jatuh," lanjut Zay pelan, lalu berlari mendekati Zia kemudian membantunya berdiri. Zia ingin protes, tetapi ia urungkan karena yang ia tabrak adalah Zero, ayahnya sendiri.

"Ayah?" lirih Zia menatap takut Zero, ia menundukkan kepalanya. Dengan sigap, Zay menggenggam tangan mungil gadisnya untuk memberinya semangat.

Zero menatap keduanya sinis. "Jadi gini kelakuan kamu di sekolah? Sering bolos sama laki-laki ini?" tanyanya tajam.

"Nggak, Yah. Zia ... nggak bolos," elak Zia menggelengkan kepalanya.

"Ck, udahlah, nggak penting!" decak Zero kembali berjalan menuju ruangan pemilik sekolah, ya, dia adalah pemilik sekolah SMA Refri 69.

"Ayah ke sini ngapain?" tanya Zia berusaha menahan tangisnya.

Pria setengah paruh baya itu berhenti, lalu menoleh ke belakang, menatap Zia enggan. "Bukan urusan kamu," jawabnya melenggang pergi dari hadapan Zia.

"Ayah," panggil Zia berlari menyusul Zero, diikuti oleh Zay yang sedari tadi bungkam.

Zero memejamkan matanya sejenak, ia meredamkan emosinya yang kian memuncak. Ia berhenti, menoleh ke samping kanannya.

"Zia boleh peluk Ayah? Sebentar aja," pinta Zia menyiratkan pandangan sedihnya.

"Nggak." Dengan cepat, Zero berjalan lagi menuju ruangan pemilik sekolah.

Gadis itu memandang sendu punggung ayahnya. Air matanya menetes, sungguh menyakitkan dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Ia butuh pelukan itu, pelukan hangat ayahnya, pahlawannya.

"Bahkan untuk aku peluk pun nggak bisa, Zay. Semuanya benci sama aku, aku salah apa, Zay?"

"Ssttt, yang sabar, ya. Ayah kamu mungkin butuh waktu buat nerima kamu kembali," ujar Zay tulus, ia mendekap tubuh bergetar Zia, membiarkan Zia menumpahkan tangisannya.

"Sampai kapan, Zay! Sampai aku mati, biar semuanya nggak kaya' gini?"

"Zia, dengerin gue!" tegas Zay melepaskan dekapannya.

Lelaki itu menangkup kedua pipi Zia dengan lembut. Matanya menatap mata Zia yang menyimpan banyak luka. Ia mengusap pelan air mata Zia.

"Lo masih ada gue, ada gue, Zi. Lo nggak sendirian," peringat Zay tegas, namun Zia malah menggelengkan kepalanya.

Rasanya 'tak adil. Zia hanya gadis rapuh dan Zay lelaki hebat untuknya. Gadis itu menyentak tangan kekar milik Zay dengan kasar ketika melihat Zero yang berjalan menuju lapangan entah tujuan dengan ke mana.

"Ayah!" pekik Zia tersenyum kecut, ia berlari kecil menghampiri Zero.

Ekspetasi 'tak sesuai dengan realita. Wajah Zero terlihat lebih tajam dari biasanya membuat nyali Zia menciut. Zero menaikkan satu alisnya.

Gadis itu menunduk. "Salah Zia sama Ayah apa? Kenapa Ayah benci sama Zia? Kenapa Ayah selalu mentingin Zoa daripada Zia?" tanyanya dengan suara gemetar, ia yakin, air matanya akan turun dengan sendirinya.

"Kamu anak sialan!" sentakearo tegas, Zia selalu membuat emosinya memuncak. Ia benci kepada Zia.

Zia mendongak, lalu terkekeh miris. "Ayah selalu bilang gitu, apa perlu, Zia mati, biar Ayah bahagia?" Sudahlah, air matanya tidak dapat ia bendung lagi. Zia benci situasi ini. Ia ingin menemukan kebahagiaannya seperti dulu.

"Mati aja, saya nggak peduli," balas Zero 'tak acuh, lalu melenggang pergi dari hadapan Zia.

"AYAH NGGAK AKAN TAHU RASANYA JADI ZIA!" teriak Zia memejamkan matanya, lalu membuka matanya perlahan. Dilihatnya, Zero tetap berjalan tanpa memedulikan dirinya. Zia bukan gadis kuat, Ayah. Zia hanya berpura-pura. Mengertilah.

●○●○●○●○

Jangan lupa, vote and comment

Aku mengerti
Akan ada pelangi setelah hujan
Dan kata orang
Akan ada kebahagiaan setelah kesedihan
Tapi kapan?
Kalau aku disuruh menunggu
Ku mohon, cepatkanlah waktu
Agar aku bisa menikmati rasanya kebahagiaan
Agar aku 'tak bisa lagi merasakan kesedihan

I'm Sorry, Good Bye! [END]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu