14A • Try To be Strong

Start from the beginning
                                    

"Mas Hanif sakit?" tanya Hawwaiz khawatir.

Hanif terlihat menghela napasnya dalam-dalam. Dia mencoba memancing Hawwaiz dengan pertanyaan lainnya. Namun, adik bungsunya itu masih bisa dipercaya memegang janji yang telah dia ucapkan pada orang tua mereka.

"Jadi beneran kamu nggak pernah komunikasi dengan Vira lagi, Dik?" tanya Hanif.

"Mas, sebanyak apa pun kamu bertanya tentang itu, jawabanku juga akan tetap sama. Kami sepakat menunda, seperti halnya Mbak Ayya dan Kak Aftab dulu," jawab Hawwaiz.

Kesungguhan itu jelas terlihat dari mimik muka Hawwaiz.

"Kalau Mas Hanif menghubungiku hanya untuk menanyakan itu, semua sudah jelas, kan? Aku capek, istirahat dulu ya, besok pagi harus ke rumah sakit lagi." Sesungguhnya itu hanyalah alasan Hawwaiz supaya kakak tertuanya itu tidak semakin ingin tahu dengan apa yang tersembunyi dibalik tatapannya.

"Ya sudah kamu istirahat dulu. Jaga diri baik-baik di sana. Mas hanya ingin berpesan, terkadang hidup itu nggak selalu sama seperti apa yang kita mau. Takdir Allah bisa jadi memberikan kenyataan yang sebaliknya. Apa pun itu nanti yang terjadi—" Hanif menatap Hawwaiz seperti ingin menyalurkan kekuatannya untuk sang adik agar tetap tegar menghadapi semua takdirnya.

"Kamu harus tetap berjalan lurus, ingat Daddy, Bunda dan kami, semua saudaramu selalu menyayangimu."

"Ah, Mas Hanif mengapa berkata sebijak itu sih? Aku jadi ingin nangis beneran nih," jawab Hawwaiz segera.

"Nangis saja kalau kamu ingin menangis, tapi kamu juga harus tahu, jika kamu merasakan berat untuk menjalani sesuatu, yakinlah bahwa Allah akan membuatmu naik kelas jika kamu sabar menjalaninya dengan meninggikan derajatmu, adikku."

Setelah itu, Hanif memilih mengakhirkan panggilan teleponnya pada Hawwaiz. Dan benar saja, nasihat menggantung yang diberikan Hanif membuat Hawwaiz semakin overthinking atas pertemuannya dengan Arfan, Vira dan pria yang tidak Hawwaiz kenal di restoran tadi.

Ah, harusnya tadi aku langsung menuju ke hotel. Akan jauh lebih baik jika aku nggak melihat kejadian itu di depan mataku sendiri sehingga nggak perlu juga mencurigai Vira akan mencurangi janji kami. Hawwaiz kembali mengusap wajahnya dengan kasar. Dia hanya berguling ke kanan dan ke kiri tanpa bisa memejamkan matanya hingga alarm di gawainya berbunyi.

'Gumuzh, tahajud yuk, berhajat mari.'

Demikian tulisan yang ada di layar gawainya. Hawwaiz mencoba untuk merilekskan tubuhnya kembali kemudian dia memilih untuk bangun dan berjalan menuju kamar mandi. Rasa-rasanya dia akan melihat fajar sebelum matanya terpejam.

Mencoba menenangkan hatinya dengan melantunkan kalam Illahi. Hawwaiz menyuarakan dengan sangat merdu puluhan ayat hingga azan Subuh berkumandang nyaring dari gawainya. Kembali dia berdiri untuk memuja zat yang memberinya kehidupan di dunia.

"Allahku, tidak ada kesempurnaan kecuali milik-Mu yang Kau sertakan dalam setiap rahmat dan rezeki pada kami setiap harinya. Tidak ada kemuliaan lain kecuali cara-Mu memuliakan kami untuk selalu bertakwa dan merintih meminta pertolongan-Mu. Namun, Ya Rabb, izinkan aku untuk bisa memuliakannya sebagai wanita dengan caraku yang sempurna. Izinkan aku menjadi satu-satunya pria yang halal baginya dalam segala hal." Hawwaiz masih menengadahkan tangannya. Perlahan air matanya ikut menetes sebagai dukungan suara hatinya yang dia bisikkan pada bumi fajar pagi itu.

Tak lama setelah itu Hawwaiz melipat sajadahnya dan memilih menikmati cerahnya pagi hari di London yang mungkin akan membuat suasana hatinya menjadi lebih baik.

Menyusuri pedestrian di pagi hari yang membuat Hawwaiz bisa sedikit menghirup udara segar di tengah kota tersibuk di dunia. Hawwaiz bahkan berniat menyewa sebuah sepeda yang bisa dia pakai berkeliling ibukota Inggris dan mengenalnya lebih dekat lagi.

AORTAWhere stories live. Discover now