31 | peran orang tua

4.6K 990 201
                                    

Bagaimana terbentuknya suatu kepribadian seseorang?

Pertama, dorongan dari figur orang tua.

Kedua, lingkungan tempat kita berada.

Ketiga, apa yang diinginkan oleh diri kita.

Berawal dari kenakalannya semasa remaja, tapi bukan berarti nakal dalam artian pengguna obat-obatan, pecandu nikotin, dan pergaulan bebas.

Kenakalan seorang Doyoung Muharam Kusumadiningrat adalah masuk ke bioskop dan nggak bayar tiket masuk.

Doyoung masih ingat gimana senangnya dia waktu berhasil menerobos penunggu tiket di sana. Bermodalkan badannya yang kurus kerempeng. Dia bisa menyelipkan badannya diantara keluarga yang mau masuk ke studio buat nonton film animasi.

Semua itu terjadi karena Doyoung kesal dipanggil bencong sama teman-teman semasa SMA-nya.

Gara-gara nolak pas diajak ngerokok di halaman belakang. Begitulah panggilan bencong melekat pada dirinya.

Doyoung terbiasa patuh sama aturan yang dibuat Mama. Mamanya begitu mengagumkan. Nggak pernah membandingkan dirinya dengan sang kakak. Nggak pernah menekan Doyoung buat belajar mati-matian demi meraih titel juara umum. Mama adalah wanita yang santai namun pasti. Begitu didikannya.

Awalnya Doyoung nggak pernah terpikirkan buat jadi seorang dokter. Profesi yang penuh perjuangan. Tanggung jawab penuh. Serta ketulusan. Menurutnya profesi itu terlalu berat.

Tapi ada alasan lain yang membuat dirinya tergugah untuk jadi seorang dokter.

Pemandangan menyakitkan saat dia mengantar Mama berobat ke salah satu rumah sakit. Hatinya sakit banget saat ingat pemandangan itu.

Dimana orang kurang mampu diperlakukan nggak adil dalam pelayanan fasilitas kesehatan.

Seorang kakek yang diantar sama cucu lelakinya. Kakek itu duduk lemas sambil terus merafalkan dzikir di sela-sela rasa sakitnya.

Doyoung bisa mendengarnya dengan jelas karena ia sedang menunggu Mama di ruang tunggu.

Saat dia bertanya ke cucu si kakek, "Kakeknya sakit apa?"

"Tuberculosis."

Doyoung sama sekali nggak takut dan waswas saat kakek itu terbatuk-batuk. Ada dorongan tersendiri buat menggandeng kakek itu ke ruangan dokter di poli penyakit dalam. Napas yang tersendat, pandangan mata yang buram, keringat yang melekat di kening penuh kerutan itu membuat hati Doyoung teriris ngilu.

Sedih.
Andai aja dia bisa ngobatin kakek itu.

Baru saja dia mau mengetuk ruang itu, dia udah ditahan sama security. Katanya, kakek ini nggak punya kartu jaminan kesehatan. Dan, pihak keluarga nggak ada yang bisa bayar biaya pengobatan tuberculosisnya. Yang mana harus dilakukan secara berkala.

Doyoung yang masih berumur tujuh belas tahun itu bertekad bulat. Meyakinkan tujuannya kalau ia akan berjuang buat masuk fakultas kedokteran dan meraih titel dokter yang sebenarnya.

Dimana tidak ada lagi pembeda kasta dalam pemberian fasilitas dan pelayanan kesehatan.

Dimana tidak ada rasa sedih keluarga pasien saat tidak punya uang untuk berobat.

Dimana tidak ada lagi nyawa yang terenggut karena tidak mampu berobat.

Mengingat semua itu membuat Doyoung meneteskan air mata. Bagaimana bisa ia mewujudkan semua harapan itu saat ia pun masih dirundung kekurangan yang tidak terlihat oleh banyak orang.

"Doyoung, sekarang kita harus tes swab dulu. Entar pas udah nyampe PCR kayak biasa." Suara Yuta menyadarkannya.

Doyoung menarik napas, lalu ia ngambil ponsel dari saku snelinya.

Hello Doctor Where stories live. Discover now