2

3.6K 308 8
                                    

"Bagaimana bisa begini, Tik? Ini baju mahal, kok malah bisa terkena luntur?" Mbak Lili menyodirkan baju itu padaku, gaun pesta dengan banyak renda yang kuyakin harganya tidak murah. Aku mengamati gaun bewarna putih itu dilema, sungguh, rasanya aku sudah jeli memisahkan kain putih dengan yang bewarna, tapi kenapa masih bisa warna abu-abu itu menempel di sana?

"Kupotong upahmu ya, Tik!" seru Mbak Lili tega. Aku membulatkan mata.

"Jangan, jangan dulu potong upahku, Mbak. Aku lagi butuh uang, tak ada beras di rumah, yang sekolah anakku juga menunggu untuk dibayar," sahutku memelas. Upahku tak seberapa, hanya tiga ratus ribu sebulan di sana, bagaimana Mbak Lili bisa tega.

"Kalau tidak kupotong, gimana cara kamu mengganti baju itu, baju itu mahal, Tik. Baru sekali pakai, kumohon, mengertilah!"

Aku menunduk, meremas gaun itu dengan lidah kelu. Ingin menjawab, tapi seakan kosa kata tersangkut di tenggorokan.

"Ini, dua ratus lima puluh ribu, aku potong lima puluh setiap bulan. Maaf, ya, Tik." Mbak Lili meletakkan yang pecahan lima puluh di meja di depanku, lalu berlalu pergi tanpa mengizinkanku bicara lebih banyak.

Aku membawa pulang gaun itu ke rumah, sesampai di rumah, meletakkannya di atas kasur. Nodanya tak banyak, hanya seukuran biji sawo, tapi terdapat beberapa buah. Aku termenung memandang benda itu, selama enam bulan upahku akan dipotong demi benda ini.

"Baju siapa itu, Tik?"

Suara yang sama, suamiku. Aku menoleh, dia masih memakai sarung kesayangannya, yang memiliki beberapa tambalan karena aku belum mampu membelikan yang baru, peci hitam yang warnanya telah pudar itu, menandakan bahwa dia baru saja selesai salat Ashar.

"Baju Mbak Lili."

"Loh, kok dibawa pulang?" tanya dia sambil meletakkan kruk di tepi tempat tidur, dia duduk di sampingku.

"Kena luntur, disuruh mengganti," jawabku malas. Aku sedang tak ingin bicara dengan Mas Banyu. Apa yang bisa dilakukannya selain bertanya, dia tak bisa apa-apa selain merepotkan.

"Tik ...."

Aku menoleh lagi, tanpa menjawab, Mas Banyu masih muda, dia belum tiga puluh tahun, aku tahun ini baru dua puluh delapan, kami dulu cepat menikah sehingga sudah punya anak sebesar si sulung.

"Sudah makan?"

"Belum."

"Tadi Mbak Lastri ngasih nasi sama lauk, makanlah! Jangan paksa dirimu berpikir terlalu keras."

Aku benci nasehat ini, Mas Banyu selalu menjadi bijak padahal tak bisa melakukan apa-apa.

"Kalau aku tak berpikir keras, lalu siapa yang akan menafkahi keluarga ini, Mas? Siapa yang akan membuat dapur berasap kembali, siapa yang akan membayar uang sekolah anak-anak. Aku juga ingin berhenti berfikir, ingin hidup enak, ingin makan sekenyang yang aku mau."

Ucapanku sukses membuat Mas Banyu terdiam.

"Tik ...."

"Sudahlah! Aku capek."

"Besok aku akan bekerja, Tik. Membantu menjual balon Pak Mamad."

Aku diam saja. Tapi apa yang dikatakannya memang dibuktikannya, pagi-pagi sekali Pak Mamad sudah mengantar balon ke rumah. Aku tak bicara, bahkan saat punggung Mas Banyu menjauh, satu tangan memegang kruk, tangan yang lain memegang balon. Dia berjalan tertatih di jalan kecil itu, ada rasa kasihan, tapi, bukankah suami kerjanya adalah mencari nafkah?

***
Di karya kars sudah bab 42. Link ada di profil.

Ai ajuns la finalul capitolelor publicate.

⏰ Ultima actualizare: Oct 12, 2023 ⏰

Adaugă această povestire la Biblioteca ta pentru a primi notificări despre capitolele noi!

Kujual Suamiku ( Tamat )Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum