𝙿𝚎𝚗𝚊 𝙿𝚎𝚖𝚋𝚞𝚗𝚞𝚑

1K 229 359
                                    

"Widihhh ... Pak Jaka rajin banget pagi-pagi udah nyiram tanaman." Ujar Gilang seraya menyapa sang penjaga sekolah dengan senyumnya yang lebar.

Pak Jaka menoleh ketika namanya disebut. "Eh, Nak Gilang? Iya nih, biar tanamannya pada seger. Kamu sendiri kok tumben," balas Pak Jaka sembari melanjutkan menyiram tanaman.

"Tumben apanya, Pak?" Gilang mengernyit bingung.

"Anu-"

"Aduh!"

"Eh, kenapa, Lang?" Tanya Pak Jaka, khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada bocah itu.

"Saya ke toilet dulu ya, Pak, udah nggak tahan!" Ujarnya, sambil lompat-lompat kecil karena menahan sesuatu.

"Oalah kirain kenapa. Ya udah sana buruan, nanti malah keluar di sini," ledek Pak Jaka tertawa kecil melihat kelakuan Gilang.

"Ihh, ya nggak atuh, Pak!" Sergah Gilang, lalu berlari menuju toilet.

Gilang pun telah selesai melakukan panggilan alam, ia memutuskan untuk menemui penjaga sekolah yang ia sapa tadi, karena ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan. Dan semoga saja ia mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang saat ini masih menghantui pikirannya.

"Udah selesai panggilan alamnya, Lang?" Tanya Pak Jaka, kali ini ia tengah memotong rumput di dekat pot tanaman yang ada di taman.

"Pak Jaka jangan panggil saya Lang doang ihh," protes Gilang, ia pun duduk di bebatuan sambil menata rambutnya yang awut-awutan.

Pak Jaka menoleh ke belakang saat Gilang menatapnya dengan wajah cemberut.

"Lho terus Bapak kudu panggil kamu apa to, Lang? Nama kamu kan emang Gilang, ya bener kalo Bapak manggil kamu Lang." Balasnya. Tetapi setelah mengatakan hal tersebut Pak Jaka tertawa kecil.

"Yang komplit, G-I-L-A-N-G." Tutur Gilang menyebutkan satu persatu huruf yang ada di dalam namanya.

"Jangan Lang doang, saya berasa dipanggil Bolang. Saya kan bukan bocah petualang, Pak." Lanjutnya.

"Masalah begitu aja kamu pikirin to, Lang Lang ..." Pak Jaka menggeleng sambil menepuk jidatnya.

"Kamu ngapain kesini lagi? Mendingan kamu langsung masuk ke kelas sana," seru Pak Jaka, nada bicaranya seakan mengusir keberadaan Gilang.

Hal tersebut membuat Gilang semakin curiga dengan Pak Jaka karena tidak biasanya Pak Jaka mengusirnya, bahkan terkadang penjaga sekolah yang usianya setengah abad itu mengajak Gilang untuk ngopi bersama di kantin, saat pelajaran berlangsung. Sungguh tak patut ditiru.

"Ada yang mau saya tanyain ke Pak Jaka." Raut wajah Gilang yang mesem kini menjadi serius dengan tatapan mata yang tajam bak elang yang hendak mencabik mangsa.

Pak Jaka menghentikan gerakan memotong rumput lalu meletakkan gunting rumput tersebut di tanah.

"Mau nanya opo lagi to, Lang? Kayaknya serius." Tanyanya dengan logat bahasa Jawa.

"Chandra dibunuh."

Pak Jaka menegang, terdiam sejenak, dan beberapa detik kemudian menatap Gilang.

"Yo Bapak juga tau, nak Chandra dibunuh. Bapak turut berduka atas meninggalnya Chandra, yo."

"Iya, Pak. Ehm ... tapi ada yang mau saya tanyain terkait kematian temen saya. Pak Jaka kan penjaga sekolah di sini, apa ada orang mencurigakan yang masuk ke sekolah?" Tanya Gilang to the point.

"Mencurigakan?" Pak Jaka terdiam seakan sedang mengingat.

"Enggak ada, Lang. Selama pelajaran berlangsung pintu gerbang selalu Bapak kunci, dan Bapak nggak izinin orang luar atau siswa keluar masuk." Jawab Pak Jaka. Tetapi dari tatapan Gilang, itu masih meragukan.

AKHIR 12 [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang