Bab 5

36.8K 2.3K 7
                                    

Entah sekali lagi ini kebetulan atau memang benar-benar takdirku untuk bertemu dia lagi, tapi yang sekarang berdiri didepanku memang benar-benar nyata adalah dia. Hari ini aku baru masuk kerja lagi setelah kondisi Putri membaik dan diperbolehkan pulang oleh dokter kemarin. Waktu masih diruang ganti karyawan tadi, aku memang sempat dengar kalau kami punya Manager baru yang merupakan anak dari pemilik butik yang baru pindah kemari sejak 2 hari yang lalu. Tapi aku tidak menyangka orang yang mereka maksud adalah Arga. Oh, dunia memang serasa menyempit sekarang.
“Senang bisa ketemu lagi, Nes,” sapanya padaku dengan senyum 1000 voltnya itu yang langsung mengundang tatapan penasaran dari Rima juga Kayla.
“Iya,” hanya itu yang keluar dari bibirku. Terus terang aku merasa kehadirannya disini akan jadi masalah buatku, entah kenapa. Aku langsung permisi darinya untuk menyapa seorang pelanggan yang baru masuk sekalian caraku untuk menghindar dari Arga. Aku harus sebisa mungkin memperjauh jarak kami.
***
“Kak Nessa kenal sama Pak Arga, ya?” aku tidak suka pertanyaan Kayla kali ini.
“Kan dia atasan kita,” jawabku sekenanya.
“Iya, tahu. Tapi dia tadi bilang senang ketemu Kak Nessa lagi. Kan itu artinya kalian udah ketemu sebelumnya.”  Kalau kujawab sekarang, pasti akan ada pertanyaan selanjutnya dari dia. Aku lebih memilih diam dan menyelesaikan makanku secepatnya. Aku tidak mau ada satupun orang yang tahu mengenai hubunganku dan Arga dulu, termasuk rekan kerjaku. Tidak ada yang perlu diceritakan mengenai hubungan singkat kami itu dan aku tidak mau mengingatnya lagi.
“Kami baru tahu kalau Bu Metta punya anak yang kuliah diluar negeri.”
Sepertinya Kayla tidak mengerti sikap diamku yang artinya tidak mau membicarakan Arga. Matanya berbinar waktu menceritakannya. Wanita mana yang tidak kepincut pesona Arga yang selalu berhasil menawan wanita dengan senyum dan pembawaannya yang sempurna. Termasuk seorang gadis polos sepertiku sebelas tahun yang lalu.
“Beliau nggak pernah cerita sih, kita taunya cuma Sisil. Ternyata anaknya yang pertama ada diluar negeri, sih,” Arga memang punya adik perempuan yang beda 13 tahun dengannya. Dulu waktu Sisil masih 5 tahun sering kami ajak jalan bertiga. Beruntung sekarang cewek itu sudah lupa pada wajahku yang sering main bersamanya dulu.
“Sayang dia udah punya tunangan, ya, Kak,”tak ada jawaban dariku tidak membuat Kayla menyerah.
“Makanya kamu nggak perlu ngomongin dia lagi. Dia juga nggak bakal mau sama bawahan kayak kita begini.”Makanku selesai. Aku lebih baik bekerja walaupun jam istirahat masih ada 20 menit lagi, daripada membicarakan Arga.
***
Malam ini aku harus kembali ke apartemen itu. Badanku rasanya capek luar biasa hari ini dan aku merasa sedikit pusing. Seharian ini aku hampir tidak sempat istirahat. Kalau awal bulan begini pelanggan sedikit lebih banyak dari biasanya. Tanggal-tanggal gajian begini memang selalu jadi hari-hari sibukku di butik. Apalagi ditambah dengan orang yang sangat berusaha kuhindari, membuatku praktis selalu berusaha menyibukkan diriku supaya Arga tidak punya kesempatan mengajakku bicara. Dia memang sempat beberapa kali berusaha mengajakku duduk sambil mengobrol, tapi selalu kutolak dengan alasan pekerjaanku masih banyak. Aku tidak suka ada bisik-bisik ditempat kerjaku karena dia.

Bis yang kutunggu menurunkanku tepat pukul 11 didepan lokasi apartemen tujuanku. Gerimis yang mengguyur kota malam ini lumayan membuatku sedikit basah. Setengah berlari aku masuk kedalam untuk mengejar lift yang hampir tertutup.
“Sorry,” aku melepas cepolan rambutku dan cipratan air hujan yang menempel disana mengenai orang yang berdiri dibelakangku. Pintu lift terbuka tepat diangka 15 dan aku langsung bergegas keluar. Hari ini aku telat dan semoga pria itu masih belum sampai.
Syukurlah dia belum datang. Ruangan masih gelap. Aku meletakkan tas disofa dan mengeluarkan baju ganti. Aku memang belum sempat mengganti seragam kerjaku tadi waktu kemari. Aku mengganti seragam kerjaku dengan tshirt kebesaran yang nyaman dan celana panjang kain.
“Kupikir kamu sudah punya pelanggan lain,” sapanya yang ternyata sudah pulang waktu aku baru keluar dari kamar mandi. Kapan terakhir kali dia bercukur? Rambut-rambut halus memenuhi rahang juga dagunya. Dia terlihat menakutkan sekaligus mematikan dengan wajahnya itu.
“Maaf karena nggak ada kabar.” Kenapa suaraku harus bergetar saat menjawab perkataannya. Apa aku takut padanya? Atau aku gugup berdiri didepannya yang hari ini terlihat berbeda dari biasanya?
“Kamu pikir kamu bisa seenaknya menghilang dan kembali begini?” Dia marah, aku bisa melihatnya disana.
“Sekali lagi aku minta maaf. Ada sesuatu yang nggak bisa kujelaskan,”  kuberanikan diri untuk mendekatinya.
“Hubungan ini memang jenis hubungan yang nggak akan pernah bisa diharapkan,” ucapnya pelan sambil berbalik meninggalkanku. “Tolong siapkan saya air hangat untuk mandi.”
Aku masih mencerna perkataannya barusan. Apa yang dia katakan memang benar. Aku tidak akan bisa mengharapkan sesuatu dari hubungan ini. Hanya sebatas melayani dan di bayar. Ada rasa perih yang terasa asing mengisi ruang kosong dalam hatiku waktu memikirkan hal itu.

Dia sedang duduk dikasur sambil mengetik sesuatu dilaptopnya waktu aku masuk kamar dan melewatinya menuju kamar mandi. Kunyalakan kran air hangat untuk mengisi bathtub dan menuangkan busa mandi beraroma vanila bercampur mint kedalamnya. Aromanya sangat nyaman, ingin rasanya aku merendam tubuh lelahku kesana.
Tanpa sengaja aku menjatuhkan sabun mandi dan membuat isinya tumpah ke lantai. Secepatnya kubersihkan sebelum dia masuk. Sayang, terlambat. Dia terlanjur membuka pintu kamar mandi dan melangkah masuk kedalam.
Brukk!! Lantai yang licin membuat tubuh besarnya kehilangan keseimbangan dan tergelincir.
“Maaf...maaf,” ucapku terpaku melihatnya jatuh didepanku sambil meringis menahan sakit.
“Apa cuma itu yang bisa kamu lakukan? Maaf dan maaf!!” kubantu dia berdiri dan mendudukannya dipinggiran bathtub.
“Ada yang sakit?” tanyaku waktu melihatnya masih meringis kesakitan. Kuambil tangan kanan yang dia pegang dari tangan kirinya. Mungkin sedikit terkilir akibat jatuh baru saja. Dengan cepat aku mengambil es batu dan membungkusnya dengan kain bersih yang bisa kutemukan didapur, mengambil perban untuk membalut tangannya dan obat penghilang rasa sakit untuk meredakan ketidaknyamanan yang diakibatkan oleh rasa sakit akibat terkilirnya.
“Kemarikan tangan kamu biar dikompres supaya nggak bengkak.” Ini yang biasa kulakukan kalau Putri atau Devi terkilir sebelum kubawa mereka ke tukang urut. Kuserahkan tablet obat dan membantunya meminum.
“Nggak perlu diperban, biar dikompres aja,” tolaknya waktu aku mau membalut pergelangan tangannya dengan perban. “Aku mau mandi. Lebih baik kamu keluar atau mau tetap disini buat menontonku mandi?” pertanyaannya barusan kontan membuat mukaku memerah.
“Aku keluar,” dia berjalan ke depan wastafel dan mengambil peralatan cukurnya. Kulihat dia cukup kesulitan melakukannya dengan tangan kiri.
“Sini, biar kubantu,” dia sama sekali tidak menolak waktu aku membantunya bercukur. Kuraih kaleng krim cukur dan menyapukannya ke daerah sekitar rahang dan dagu juga dibawah hidung. Aku menyesali inisiatifku ini. Mata hitamnya sejajar dengan mataku waktu dia memilih duduk diatas wastafel supaya aku lebih mudah mencukur rambut-rambut halus yang ada disana. Mungkin saat ini dia bisa mendengar suara detak jantungku karena berdetak dengan sangat kencang. Beberapa kali aku harus menarik nafasku dengan dalam untuk mengurangi detakannya.
“Kenapa?” tanya dia yang terlihat santai menikmati belaian pisau cukur di rahangnya. “Nggak papa,” sahutku sepelan mungkin untuk mengurangi rasa gugupku. Kenapa ini? Kenapa aku harus gugup berhadapan begini dengannya. Padahal biasanya kontak tubuh diantara kami jauh lebih dekat dari ini.
“Kamu berkeringat,” diusapnya keningku yang ternyata memang tanpa kusadari ada keringat disana.
“Uap hangat dari bathtub membuatku gerah,” aku memang merasa gerah, tapi bukan karena itu.
Akhirnya aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Wajahnya kini tampak lebih bersih dan segar. Terakhir, kuambil botol aftershave dan menuang isinya ketanganku. Aromanya ringan dan segar. Tanganku yang masih menempel dirahangnya dia tarik dengan pelan dan dia mengunciku dalam tubuh besarnya.
“Sepertinya lagi-lagi aku harus membayarmu lebih hari ini.”
***
Bagaimana aku harus melewati malam ini setelah kejadian dikamar mandi baru saja? Apa aku lebih baik pura-pura tidur saja sebelum dia bertindak lebih jauh. Tapi kenapa aku harus takut? Dia ‘kan memang membayarku untuk tubuhku? Ciumannya sangat lembut dan aku merasa nyaman ketika bibirnya membelaiku dengan lembut. Sampai sekarang aku bahkan masih bisa merasakan kakiku yang lemas karenanya. Aku cuma bisa diam waktu dia melakukannya. Untungnya dia segera menghentikan permainan bibirnya sebelum jantungku melompat keluar dari tubuhku. Aku yakin dia bisa mendengarnya dengan jelas karena tidak ada jarak diantara tubuh kami.
Samar-samar aku masih bisa mencium aroma aftershave yang menempel diwajah juga leherku. Kubenamkan wajahku dibalik guling waktu kudengar pintu kamar mandi menutup tanda dia sudah selesai dengan mandinya. Kasur agak sedikit bergerak waktu dia naik dan menyelipkan tubuhnya dibalik selimut dibelakangku. Kupejamkan mataku serapat-rapatnya dan mengatur nafasku setenang mungkin untuk membuat kepura-puraan tidurku semakin meyakinkan.
“Aku masih mau kamu menemaniku. Jadi kamu jangan berpikir aku akan melanjutkan apa yang kulakukan dikamar  mandi.”
Sial. Dia tahu aku belum tidur. Tapi aku terlalu malu untuk berbalik dan menjawab ucapannya barusan. Terserahlah dia mau berkata apa, yang penting malam ini aku selamat dulu darinya. Semoga besok aku bisa melupakan rasa maluku ini dan terbangun dengan bisa bersikap lebih biasa padanya. Semoga saja.

BIRU  (Silver Moon series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang