🍀IX : Satu Lagi yang Bersembunyi (a)🍀

1K 284 60
                                    

26 April – waktu bumi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

26 April – waktu bumi

Aku melihat Mama, Papa dan Kak Amma. Kami sedang menyantap sarapan bersama sebelum kesibukan dunia membuat kami berpencar.

Saat itu, Papa dan Mama baru kembali dari penjelajahan mereka di Nusa Tenggara Timur. Kaki kanan Papa yang patah dibalut penyangga tebal yang dramatis.

Setiap Papa mengambil langkah, dia akan menyuarakan 'aduh', 'a-a-a!', 'Walah!' dan suara sakit lain yang membuatku membayangkan rasa sakitnya juga.

"Papaaa, udahlah, besok jangan pergi jauh lagi," rengekku yang duduk di sebelahnya, tidak begitu nafsu pada roti isi telur di hadapan.

Wajah agak gempal milik Papa menoleh padaku sembari tersenyum kecil. "Eh, jangan, dong. Nanti Anna gak bisa sekolah lagi kalau Papa gak kerja."

"Ya udah, aku aja deh, yang pergi gantiin Papa!"

Kak Amma yang melangkah terburu-buru dengan tas kuliahnya segera mengambil dua potong roti isi telur dari piring, memasukkannya ke Tupperware praktis. Dia sempat-sempatnya mengejekku sambil lewat saat itu. "Kerja jadi tukang minta-minta, Na?"

Aku tidak terima dengan ucapan itu. "Iiih!"

"Amara," tegur Mama yang sedang mencuci piring. Dia menatap galak punggung Kakak yang pergi dari area dapur. Seperti biasa, dia tidak pernah sarapan bersama kalau Mama dan Papa ada di rumah.

"Aku kenal banyak flora dan fauna juga, kok!

Mama berkata tanpa menoleh padaku dan kembali membasuh piring berbusa, "Tapi, kamu gak kuat sama perjalanan jauh. Jangankan keluar dari pulau Jawa. Kamu aja langsung kena tipes setelah pulang dari Bandung, pas perpisahan SD. Itu pun baru sehari."

Aku tambah merengek sambil menarik dan mengayunkan tangan kiri Papa. "Ya, Paaa? Papa jangan pergi-pergian lagi! Pasti banyak lowongan kerja di deket sini. Apalagi Papa kan hebat, banyak prestasi, banyak sertifikat."

Mata kecil Papa masih mengerling gemas selagi tangannya merangkul bahuku dan sisi wajahnya bersandar di puncak kepalaku.

Dia berucap dengan lembut dan sayang. "Iya, deh. Iyaaa. Doakan aja Papa sama Mama dapat kerjaan di sekitar sini. Biar Papa juga bisa sering di rumah bareng Anna sama Amma."

Senyumku merekah. "Serius, nih? Papa gak pergi-pergian lagi? Janji, loh! Janji, ya?"

Wanita yang hari ini memakai daster batik lengan pendek ikut tersenyum selagi membalik badan pada kami. "Hayoloh, Pa. Janji gak boleh diingkar, loh," godanya. Kemudian mereka tertawa.

Tawa mereka berdua terdengar membahagiakan, menular dan manusiawi.

Jadi, bagaimana bisa mereka yang se-manusiawi itu adalah sebuah robot?

Kubuka mata, mendapati kamar mewah Iredale yang agak redup. Sinar matahari agaknya sudah tinggi, tapi gorden tipis masih menghalanginya menerangi seisi kamar.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang