🍀II : Putri (b)🍀

2.4K 542 149
                                    

Aku terkadang suka tampil feminin, tapi aku lebih memilih pakaian kasual untuk acara formal

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku terkadang suka tampil feminin, tapi aku lebih memilih pakaian kasual untuk acara formal. Bukan gaun dengan pita merah muda besar yang terikat di belakang serta roknya yang mengembang dihias renda-renda. Penampilanku terlalu manis sampai aku sendiri merasa terkena diabetes melihat cermin. Namun aku suka gaya rambut yang sekarang. Bergelombang.

Aku juga memakai sarung tangan sepanjang pergelangan tangan dari brokat putih yang tidak begitu menutupi kulit. Tak lupa dengan sepatu senada berhak kecil yang dipakaikan oleh pelayan bersurai abu-abu—Ah, iya, namanya Han.

Aku hanya tidur satu jam sejak kami dibebaskan dari hukuman subuh tadi. Seluruh badanku rasanya mau rontok. Aku sama sekali tidak mau mengikuti perayaan ini, tapi tidak ada penolakan di hari yang penuh syukur bagi ras Api.

Kupekikkan suara begitu dia hendak memolesi bibirku dengan lipstik merah. "Tidak, Han. Itu mengerikan," gerutuku sambil menutupi mulut.

Aku sengaja berbahasa lebih sopan tuk mengikuti cara bicara orang-orang di sini—mulutku jadi agak kebas. Guru Bahasa-ku bakal sangat bangga mendengarnya.

Han memilih lipstik yang menempel di balik cermin, dia menunjukkan warnanya padaku.

"Oke. Warna peach, bagus," anggukku.

Cermin berbalik dengan otomatis, menunjukkan bibirku yang diolesi warna pink lembut. Kapan lagi aku berpenampilan seperti ini? Tidak kapan-kapan, hanya untuk hari ini.

Pesta. Untuk yang ke seratus kalinya aku menghela napas mengingat acara yang mesti kuhadiri itu. Aku tak suka berada di kerumunan. Han bilang ini pesta pribadi, tapi buatku semua pesta sama-sama menguras tenaga dan emosi.

Pintu kamar super mewah yang kutempati sontak terbuka, Kak Amma masuk menghampiri dengan penampilan yang mengagumkan. Gaunnya tidak mengembang sepertiku, bahannya jatuh dengan anggun, berwarna putih bercorak floral emas di sisi kanan kiri tubuh. Tak lupa dengan mahkota simpel berwarna emas pink juga.

"Kakak!" seruku, bangkit dari bantal terbang yang menjadi tempatku duduk—benar, bangku itu tidak memiliki kaki dan bisa menopangku. Kakak memelukku dengan erat, membuatku sesak.

"Bagaimana? Kamu suka tempat ini, Na?" tanyanya terlihat senang.

Aku menggeleng. "Apa mereka beneran orang tua kandung kakak?" tanyaku.

Kak Amma melebarkan senyum sambil mengangguk. Haru dan bahagia terpancar jelas darinya.

Aku berkata lagi dengan agak menunduk. "Kalau gitu, berarti kakak enggak pulang ke bumi?"

Dia tak langsung menjawab. "Anna enggak mau tinggal di sini sama Kakak?" tanyanya lembut.

Tidak, itu yang hendak kubalas. Namun, kata itu tidak bisa kulontarkan pada kakak.

Kak Amara diadopsi oleh Papa dan Mama ketika umurnya tujuh tahun, sedangkan aku saat berumur tiga hari. Kami diangkat menjadi anak mereka di hari yang sama. Aku tidak tahu alasan mengapa orang tuaku yang asli menelantarkanku yang baru lahir. Tetapi, aku punya orang tua dan kakak yang sayang padaku, jadi status sebagai anak angkat tidak begitu mengusikku.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Where stories live. Discover now