🍀Amara (a)🍀

1.4K 331 142
                                    

Ugh, bosan sekali menjadi 'Putri'

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ugh, bosan sekali menjadi 'Putri'.

Kutatap barisan prajurit berpakaian putih, baris berbaris di lapangan luas sementara aku menonton kerapian dan keteraturan gerak mereka dari atas, terlindung dari terik matahari pagi dan menduduki kursi empuk.

Menonton pun sebenarnya tidak juga. Aku hanya tak tau harus menatap ke mana lagi agar tidak terlarut dalam rasa bosan serta kantuk.

Aku menguap, tak sempat menutup mulut dengan keseluruhan dan aku segera mengakhirinya di tengah jalan sambil menoleh ke kiri dengan was-was. Seperti dugaan, Nenek Mel yang berdiri di sana menyalahkan sikapku barusan lewat tatapan mata sipit yang tajam.

Aku pura-pura tidak menyadarinya. Toh, setelah acara, dia akan memberikan ceramah terhadap sikapku yang menurutnya 'kurang anggun' atau ' kurang pantas' sebagai seorang putri petinggi ras Api. Dia selalu melakukannya setiap hari, nyaris di setiap kesempatan yang ada.

Namun, aku menyayanginya. Jadi aku mendengarkan dengan baik.

Kuhempas napas tanpa benar-benar menunjukkannya. Padahal hari ini hari ulang tahunku. Hari yang dirayakan oleh semua masyarakat Iredale. Hari spesial di mana doa-doa mereka penuh oleh harapan keberhasilan, kesuksesan, kesejahteraan dan kesehatan untukku.

Jika ulang tahunku seistimewa itu, bukankah akan sangat maklum kalau aku bersikap sedikit bebas?

Hei, aku masih enam tahun, masih anak-anak. Dari pada duduk diam bak patung, dipaksa menonton prajurit-prajurit yang mengungkapkan rasa syukur mereka dengan pertunjukkan baris-berbaris dan beberapa akrobat militer, aku lebih ingin bermain bersama beberapa anak seusiaku tanpa pengawasan siapa pun termasuk pengasuhku—Nenek Mel. Keberadaannya bisa saja membuat sikap anak-anak lain menjadi kaku dan membosankan.

Mau bermain, pun, sebenarnya aku tidak memiliki kenalan seusiaku. Sejak aku kecil, aku tidak pernah benar-benar menghabiskan waktu dengan anak-anak lain selain berkenalan. Itu pun tak banyak kata yang tertukar terhalang formalitas.

Ditambah, keluarga kerajaan tidak boleh memiliki anak lebih dari satu menurut tradisi leluhur, alhasil aku tidak memiliki Kakak atau adik.

Aku menguap lagi, kali ini berhasil menutup mulut dengan tangan berbalut sarung tangan brokat putih cantik berhias kristal merah berbentuk api di punggung tangannya. Kusadari Ibunda yang duduk tak jauh di sebelah kananku menoleh, tanpa berkata apa-apa. Aku tersenyum santun padanya dan kembali menatap ke depan.

Sial.

Aku tidak boleh menyuarakan itu, jadi aku membatin. Dari mana aku—seorang putri terhormat nan terdidik ini—mengetahui kata itu?

Tadi pagi, Letnan satu Yoku dan putra terakhirnya bernama Kai yang masih 6 tahun datang lebih awal karena ingin bertemu denganku, menyampaikan selamat berulang tahun sebelum orang-orang luar lain melakukannya. Lalu, saat Kai berbalik melangkah pergi, dia bilang 'Sial, resleting celanaku tidak rapat'.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Where stories live. Discover now