🍀V : Adipati Wandra (a)🍀

1K 328 93
                                    

21 April - Waktu Bumi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

21 April - Waktu Bumi

Ini hari ketiga aku berada di Nascombe.

Sambil mengumpulkan nyawa, aku duduk termenung di atas kasur lipat. Selimut menutupi bagian bawah tubuh, rambutku berkelok seperti akar pohon, sementara yang lain masih terlelap, menutupi diri dari suhu yang masih terbilang dingin. Sepertinya aku bangun terlalu awal.

Mumpung belum ada yang lihat, aku ingin mengulang ajaran Lofi semalam. Pujian semalam membuatku termotivasi.

Aku mencuci muka, menyikat gigi dengan gumpalan serabut kayu dan air, lalu mulai pemanasan seadanya di bagian lengan dan bahu.

Aku menghadap tembok kayu ruangan paling belakang rumah ini, memunggungi mereka yang masih tidur. Kaki kanan sedikit ke belakang, tumit agak di angkat. Kepalan tangan di atas dagu, tarik napas, tahan sambil meninju—

Duk! "Aw!" Aku meninju dinding kayu tanpa membalut tanganku lebih dulu. Kulihat punggung tanganku yang berkedut-kedut dan memerah, memijitnya pelan-pelan.

"Sedang berlatih?" Sontak kepalaku menoleh ke belakang, Han sedang melipat selimutnya. Erm, sejak kapan dia melihat?

"I-iya ...."

Dia tersenyum tipis. "Sebaiknya kamu mengisi perut dulu. Aku akan membuat sarapan, kamu bangunkan mereka, ya?"

"Oke."

Tanpa usaha dan kerepotan yang berarti, tuan rumah serta ketiga pengungsi lain sudah bangun—Rav juga tidur di sini.

"Aku bikin sarapan, ya?" kata Kak Amma.

"Jangan, Tuan Putri. Biar aku saja yang memasak." Rav mengisi arang dengan tergesa.

Kak Amma membakar arang dengan menembakkan api dari jarinya. "Eeeh, aku ingin memasak hari ini."

Aku yang duduk di bangku batang pohon berkata dengan nada nyeleneh. "Yang mulia, Anda tidak diperkenankan untuk memasak. Seorang putri tidak boleh turun ke dapur."

Kakak memberiku tatapan jahil, lalu mendekat dengan tangan yang hendak menggelitik. Aku langsung bangkit dari bangku dan menjauh.

"Jangaaan!" jeritku.

Seseorang mengetuk pintu, menghentikan kejar-kejaran kami berdua. Lofi menggaruk belakang kepalanya dengan jengkel. "Padahal aku sudah menaruh tanda 'tutup' di luar. Apa dia buta?"

"Siapa tau itu Ibu Rav, kan?" Aku bergerak menuju pintu. Berkat balsam serbaguna, bagiannya yang patah sudah menyatu lagi. Kalau sampai pintu ini dibanting untuk yang kedua kalinya, bukan hanya Lofi, tapi aku juga akan marah.

Aku membuka pintu, lalu mengeluarkan sebagian tubuh dari celah, mengintip keluar. Di depanku berdiri seorang laki-laki setinggi diriku. Matanya besar bermanik hijau gelap, berpakaian serba cokelat dan hitam, terlihat lebih resmi dibanding pakaian masyarakat ras Daun yang lain. Dia kini tersenyum simpul padaku.

Forestesia | Putri, Peri dan Pengkhianat ✓Where stories live. Discover now