29. Petaka Gundik Jelita

1.7K 17 0
                                    

29. Petaka Gundik Jelita  

SATU  

Hutan kecil itu terletak di teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak terdengar  

menderu di pasir sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu ganas  

membuat teluk itu hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan pencari  

ikan.  

Tersembunyi di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat sebuah  

pondok kayu beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar serta  

langkan lebar. Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu sama lain.  

Untuk beberapa saat lamanya tak satupun dari mereka membuka mulut bersuara.  

Duduk di sebelah kanan di dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat  

putih, berkulit hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda.  

Parasnya yang keriput dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya  

disamaki berbagai pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang  

pemuda berpakaian putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya  

yang hitam agak tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara laki- 

laki, namun keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan bahwa  

sebenarnya pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun.  

"Empu, kau tadi hendak membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya  

berdiam diri...." Terdengar suara gadis elok paras.  

"Terus terang sebelumnya percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada  

waktu tiba saatnya terasa tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu," kata  

orang tua yang dipanggil dengan sebutan Empu. "Nawang Suri, ketahuilah, sejak kita  

tersingkir dari Kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak saudara handai  

taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku hampir-hampir  

hilang rasa percaya diri....."  

"Tapi Empu!" sang dara bernama Nawang Suri cepat memotongnya. "Selama  

ini justru empu selalu menanamkan semangat percaya diri padaku. Selalu  

mengobarkan api keberanian dan tekad bulat bahwa suatu ketika semua yang musnah  

itu akan kita dapatkan kembali. Adalah aneh kalau sekarang empu bicara lain...."  

Si orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya.  

"Aku sudah tua Nawang dan aku bukan manusia yang dapat menyembunyikan  

kenyataan. Sikap dan semangatku hanya akan sampai sejauh batas usiaku yang  

tinggal tidak berapa lama lagi. Sebaliknya semangat dan tekadmu masih harus  

menempuh jalan jauh dan sulit. Karena itulah aku selalu mengobarkannya dalam hati  

sanubarimu. Jalan yang akan kau tempuh tidak mudah apalagi mengingat kau seorang  

gadis muda usia. Namun menyadari bahwa kau sebenarnya adalah satu-satunya  

WIRO SABLENGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang