34. Panglima Buronan
SATU
Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana
itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak
kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap tak berkesip
pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.
Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi
lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri
Baginda akhirnya bersuara juga.
"Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita
itu.....!"
"Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya
takut untuk menyampaikannya."
"Kalau untuk kebenaran mengapa takut? Hanya saja, apakah kau punya bukti-
bukti nyata? Saksi-saksi.......?"
"Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti
dan saksi hidup," sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. "Sekian
puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan
dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri
Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh
Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa
secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji
Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda
berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya.
Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri
Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?"
Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan
dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar.
"Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau
sampaikan saat ini ternyata tidak benar.....?" Sang raja bertanya seolah-olah ingin
menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.
"Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda," jawab Jayengrono. "Untuk itu
saya bersedia dipancung......"
Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena
tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata "Sri Baginda, saya mohon petunjuk
lebih lanjut."
"Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!" Tiba-tiba saja Sri
Baginda menjawab tegas.