SERIAL WIRO SABLENG
12.Pembalasan Nyoman Dwipa
KARYA
BASTIAN TITO
1
KETIKA dia memasuki Klung-kung, kota itu
masih diselimuti embun pagi. Kesunyian pagi
dipecah oleh derap kaki kuda yang
ditungganginya. Sesampainya di depan pura
besar yang terletak dipersimpangan jalan
seharusnya dia membelok ke kiri. Tapi karena
hari masih terlalu pagi diputuskannya untuk
menghangati perutnya dengan secangkir kopi
lebih dulu di kedai yang terletak tak berapa
jauh dari persimpangan itu.
Meskipun hari masih pagi di dalam
kedai sudah penuh oleh pengunjung. Laki-laki yang baru datang ini duduk di tempat yang
masih lowong sementara pemilik
kedai melayaninya. Beberapa orang tamu memandang kepadanya lalu meneruskan menyantap kue-
kue atau menghirup
minumannya. Beberapa diantara mereka meneruskan percakapan yang tadi terhenti karena
kedatangan pengunjung baru ini.
"Semarak kota Klungkung kini semakin tambah dengan kedatangannya orang baru itu," berkata
seorang laki-laki sambil
memandang pada cangkir kupinya. Umurnya kira-kira lima puluhan.
"Sudah seminggu ini tentang penduduk baru itu saja yang dipercakapkan orang, termasuk kau."
menyahut kawannya.
"Kalau anak-anak muda yang mempercakapkannya itu bukan soal, tapi kau yang sudah tua
begini, ampun . . . " Dicabutnya
rokok kaungnya dari sela bibir lalu dihembuskannya jauh-jauh.
Laki-laki yang pertama tertawa. Waktu tertawa ini kelihatan gigi-giginya yang cuma tinggal
beberapa saja sedang kedua
pipinya mencekung kempot. "Kau salah sahabatku. Kecantikan seorang perempuan bukan hak
orang muda-muda semata untuk
membicarakannya. Kita yang tua-tua inipun tak ada salahnya. Dan anak gadis I Krambangan itu
benar-benar cantik luar biasa.
Belum pernah aku sampai setua ini melihat yang secantik dia."
"Apakah dia secantik bidadari?"
"Ah sobat!" kata laki-laki tua itu sambil mengelus dadanya, "kau belum bertemu dengan dia.
Nantilah .... kalau kau lihat
anak gadisnya I Krambangan itu hem ... Kau akan menyesal karena terlalu cepat dilahirkan ke
dunia ini hingga ketika dia
muncul di Klungkung ini kau sudah jadi seorang tua renta, kakek-kakek peot macam terong
rebus!"
Beberapa orang tersenyum-senyum mendengar ucapan itu. Dan orang tua tadi meneruskan lagi
kata-katanya sementara