2. Genius

1.9K 187 66
                                    

Mark Hommund adalah orang yang perfeksionis. Titik.

Jika dia tidak mendapatkan nilai terbaik dalam ujian atau tidak menjadi peringkat pertama di kelas, Mark akan langsung menghadap dosennya dan meminta ujian ulangan atau—jika hal tersebut tak dimungkinkan—dia akan mengulang mata kuliah tersebut di semester atau tahun berikutnya.

Masalahnya, di jenjang universitas ada seseorang yang terus-terusan mengacaukan rencana sempurna Mark. Orang itu mengalahkan Mark di hampir setiap pelajaran, membuat Mark terus-terusan mengulang beberapa mata kuliah demi mengalahkannya. Mark memang berhasil mengalahkannya—hal ini sangat direstui oleh orang tuanya, ngomong-ngomong, perihal mengambil mata kuliah ini—tapi uang kuliahnya didasarkan pada mata kuliah yang diambilnya setiap semester. Ini mulai menimbulkan masalah tersendiri.

Tapi Mark merasa tidak boleh kalah dari orang itu.

Titik.

Suatu hari, ayah Mark mengajaknya bepergian sebentar. Saat itu sore hari, menjelang malam. Mark sedang libur pergantian semester, berkutat mengerjakan soal-soal yang tersisa di buku-buku kuliahnya—bukan sekedar mengejar ketertinggalan, tapi mendahului apa yang bahkan belum dimulai.

Mereka berdua mengendarai mobil sedan tua sang ayah. Mark sudah seharusnya boleh belajar mengemudi dan mendapat SIM sendiri, tapi dia belum merasa perlu dan orang tuanya pun tidak memaksa.

“Kita mau pergi ke mana?” tanya Mark. Lelaki berkacamata itu serius memandangi jalanan yang perlahan-lahan menggelap seiring dengan terbenamnya matahari.

“Ada suatu tempat istimewa yang diberitahukan oleh temanku,” jawab sang ayah.

“Tempat ‘istimewa’?”

“Ya. Mungkin kedengarannya konyol, tapi dia bilang tempat ini adalah tempat kau bisa menemukan segala macam obat.”

Mark mengerutkan kening. “Teman Ayah membual.”

“Mungkin saja.” Sang ayah mengangkat bahu. “Aku juga terlalu jauh menanggapi ceritanya sampai tidak yakin dia berbohong.” Pria yang lebih tua itu merogoh saku jaketnya, menyodorkan secarik kertas pada putranya. “Dia menggambarkan peta untuk mencapai tempat itu.”

Mark mengamati coretan spidol yang sedikit luntur di kertas tersebut. Ia mencibir. “Yakin teman Ayah tidak mengidap schizophrenia atau gangguan jiwa apa?”

“Yah …” Sang ayah lagi-lagi mengangkat bahu. “Aku sendiri bertanya-tanya kenapa aku kemarin pergi mencari tempat yang ditunjukkan peta itu dan menemukan tempat yang dimaksud oleh temanku itu.” Pria itu menggosok tengkuknya. “Tempat itu benar-benar ada.”

“Aneh sekali.”

“Ya. Aneh sekali.”

Lebih aneh lagi, mereka berdua menemukan tempat tersebut. Rupanya tempat itu adalah sebuah apotek, terletak di daerah pinggiran kota di antara bangunan-bangunan flat yang tergolong kumuh, tempat tinggal bagi mereka yang—mengutip istilah di keluarga Hommund—kurang benar hidupnya.

Tulisan yang terpampang lugas di papan bertuliskan “Apotek Saltman”. Lampu yang meneranginya baru saja menyala ketika ayah Mark memarkir mobilnya di dekat sana.

“Kalau tempat ini benar-benar ada, barangkali juga cerita temanku juga benar,” kata pria yang lebih dewasa. Ia memastikan setiap pintu mobil telah terkunci. “Bahwa tempat ini menjual … obat-obatan tertentu.”

Mark terkesiap.

“Ayah ingin aku menggunakan obat terlarang? Doping ilegal?”

“Tidak,” tukas sang ayah cepat. “Narkotik, tidak. Doping ilegal masih lebih baik. Kita bisa mengatur pemakaiannya dengan ketat. Kau ingin mengalahkan sainganmu di kelas itu kan?”

NaClTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang