Chapter 34

4.8K 291 6
                                    

Kalender dan jam di dinding rasanya bagai membeku di mata Veera. Petang malam dia kerap memelototi waktu sampai matanya perih, menanti jam mengetuk pukul 12 malam, hari berlalu, dan satu bulan cepat berlalu. Setiap Veera menyadari kepedulian berlebihnya kepada kepulangan Ernest, dia akan menyalahkan diri, menampar wajahnya kembali ke kenyataan. Namun 5 menit kemudian, tanpa sadar jam lagi yang sudah dipelototinya. Dia merasa gila. Dia merasa nyaris sinting, menanti satu bulan usai. Karena itu dia paksakan diri untuk melakukan banyak kegiatan, banyak kali dia meminta Alicia untuk mengunjunginya. Rupanya Ratu Assiah tidak sesibuk yang Veera kira.

"Lagi-lagi jam." Veera menoleh ketika Alicia menggerutu kepadanya, berhenti merajut kain yang sedang dikerjakannya. "Kau memintaku hari ini untuk mengajari kau membuat selimut dari benang wol, tapi sedari tadi kau terus melihat jam bagai kau akan telat pergi ke acara penting. Ada apa denganmu?"

Veera memerah wajahnya, dia terpergok. "Barangkali hari ini aku hanya kurang fokus."

Alicia menghela nafas panjang. "Terus terang, kau sudah seperti ini sebulan lamanya. Selalu terbelah fokusnya setiap aku kemari. Apa ini ada hubungannya dengan kepergian Ernest?"

Veera membelalak. "Jangan bercanda! Aku tidak bahkan peduli ke mana pria itu tengah berada." Dusta yang sangat payah. Veera hanya bisa berdoa dalam hati kalau Alicia tidak menangkap kebohongannya. "Aku hanya sedang banyak pikiran. Dikurung di istana ini membuatku lebih sering berpikir ketimbang bertindak."

Alicia lagi-lagi menghela nafas panjang. "Aku mengerti, pasti berat." Dia meletakkan rajutannya di meja. "Aku hanya khawatir kalau kau sakit, dan mengingat bagaimana kau selalu ingin tampak kuat, kau tidak mau memberitahu siapa-siapa." Veera langsung menggeleng cepat. "Kuharap kau jujur padaku."

"Seratus persen." Veera mengambil rajutannya. "Ajarkan cara membuat pola rajut seperti bunga itu yang barusan kau lakukan."

Alicia tersenyum lebar. "Kali ini fokus."

Waktu berpacu kelewat lamban rasanya. Pertemuannya dengan Alicia hanya 2 jam, namun rasanya seperti setengah hari telah berlalu. Seusai Alicia pulang, Veera menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan Kastel, namun sekali lagi matanya terus bergantian antara buku dan jam dinding. Langit yang semula bercahaya biru, kini mulai meredup oranye. Larik-larik cahaya emas menghias lantai, dari pantulan jendela. Berjam-jam telah berlalu, dan Veera belum membaca banyak halaman. Dia mulai menyadari kalau ini tidak berguna.

Dia makan malam sesuai jadwal, dan ketika Collin menawarkan teh malam, Veera langsung menolak, mengatakan dia ingin tidur.

Badannya kelelahan ketika dia menyelam ke balik selimut, padahal dia tidak melakukan banyak hal hari ini. Matanya menatap bulan yang tampak sabit sempurna di jendela kamarnya, lalu menguap.

Sudah lebih dari 30 malam berlalu semenjak kepergian Ernest, namun tidak sama sekali tampak tanda-tanda pria itu akan kembali ke Assiah. Veera menghela nafas panjang, menutup matanya dengan lengannya, merasakan hatinya memberat. Dia membenci mengakui, bahkan dia benci fakta kalau pikiran ini terbesit di dalam benaknya satu detik. Namun rupanya, dia merindukan Ernest jauh lebih banyak dari yang dia kira.

***

Tidak bahkan Veera menyangka kalau dia akan ketiduran di kamarnya sampai begitu larut, ketika dia terbangun oleh suara kegaduhan dari luar jendelanya. Matanya langsung menangkap kalau jam masih menunjukkan pukul 3 pagi, namun seluruh pekarangan istana bagai dibangunkan oleh alarm tak kasat mata. Hanya berpakaian mantel dan sendal tidurnya, Veera berjalan keluar dari kamarnya, dia tidak menemukan satu pun dayangnya berjaga di depan pintu.

Aneh. Dia membatin.

Langkahnya terus berpacu, sampai dia menemukan tangga, dan di atas sanalah, dia melihat sosok kurus Rinn, yang seharusnya tengah berjaga.

"Kerusuhan apa ini?"

Rinn terperanjat. Dia langsung menggeleng, mengatakan kalau dia bahkan mengintip ke bawah untuk mencari tahu apa yang tengah terjadi. Dia pun sama kebingungannya.

Ketika Veera menuruni tangga, Rinn menuntun. Dan baru ketika mereka sampai di ruang tengah, mereka berjumpa dengan sosok Huges, yang begitu sibuk, meneriaki setiap pengawal yang dia temui.

"Ada apa?" Veera langsung bertanya.

Huges terbelalak ketika dia melihat Veera, dia langsung membungkuk. "Kau, kembali ke mesmu, Rinn." Rinn tampak kebingungan juga begitu ragu untuk menuruti perintah. "Saya yang akan menjaga Nona malam ini, kau dengar saja."

Baru setelah diyakinkan, wanita itu pergi mengundurkan diri. Setelah itu setiap pengawal yang lewat, diteriaki oleh Huges untuk masuk ke dalam mes dan tidak keluar sampai satu pun dari mereka dipanggil. Sebut saja Veera otak lamban, sebab beberapa detik kemudian, dia baru menyadari apa yang tengah terjadi.

Alisnya menaik, matanya membelalak. Dia menghampiri Huges lalu membisik, "Ernest kembali?"

"Dengan kabar yang terlalu mendadak, Nona." Huges mengelap peluhnya sendiri. "Malam ini menggigilkan, masih 10 menit lagi sampai Paduka tiba. Anda boleh kembali ke kamar, dan nanti akan saya panggilkan ketika Paduka sampa-"

"Aku akan menunggu di sini." Huges hendak memprotes, namun Veera menghentikannya. "Kumohon."

Kembali lagi terbesit kenangan kepulangan Ernest yang disambut oleh Alicia. Itu sudah kejadian 3 bulan yang lalu, namun nyerinya masih membekas. Dan karena hal yang sama, Veera meminta Ernest untuk menjumpainya pertama setelah kepulangan dari perjalanan ini. Permintaan remeh dari seorang yang tidak berderajat tinggi. Namun Ernest mengingat. Padahal kini sudah jam 3 pagi, sudah selayaknya dia beristirahat ke istana utama.

Namun dia kemari.

Veera menanti di depan pintu, sampai kereta kuda Ernest sampai. Jantungnya bertalu-talu kelewat kencang, memuncak ketika 6 kuda putih berhenti serentak, dan pintu kereta dibuka. Lios lah yang keluar paling pertama, lantas dia membungkuk, membuat jalan untuk Sang Raja, dan barulah Ernest turun dari kereta kuda.

Entah memang dia tampak rapi malam ini, atau mereka sudah terlalu lama saja tidak berjumpa, Veera tidak tahu. Namun yang jelas, pria ini terlihat begitu menawan malam ini. Bahkan menandingi sabit sempurna yang bergantung di angkasa.

Ernest berhenti 5 langkah dari Veera, dia merentangkan tangannya, melebarkan senyumnya, membuat parasnya tampak tampan. "Kau sudah berjanji. Mana pelukku?"

Veera tersenyum tipis, kesusahan menutupi tawanya, ketika hatinya tengah berbunga-bunga. Langkahnya mendekat, dan perlahan, dia masuk ke dalam dekapan Ernest. Tangannya melingkar di punggung pria itu, ketika tangan Ernest melingkar di lehernya.

Wangi tubuh Ernest khas, dan walau dia enggan mengakui, Veera selalu menyukainya.

"Selamat datang kembali," bisik Veera, sekalipun gengsi bukan main.

"Aku pulang." Ernest mengecup lembut kening Veera, membuat jantungnya berdebar kian gila saja. "Aku sangat merindukanmu."

Sekalipun kerongkongannya tercekat ego untuk mengucap rindu. Veera memejamkan matanya dan membiarkan hatinya saja yang membisik perlahan. Ernest tidak perlu tahu sebanyak apa Veera memikirkannya 1 bulan terakhir.

***

Thank you buat semuanya yang udah sempetin mampir ke cerita ini! Thank you buat Views, Vote, Komen, dan Share kalian.

Intinya Thank you so much!

Follow me on instagram : nnareina

Update lagi lusa (dua hari sekali) jam 7 malem, ya! Enjoy!

See you soon di next chapter, and hope you all have a nice day!

Love you!

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang