Chapter 11

5.9K 387 6
                                    

Untuk waktu yang terasa begitu lama, Veera menegang. Waktu seakan berhenti di sekitarnya dilahap oleh keterkejutan.

"Mengapa kau ada di sini?" Veera terperanjat ketika Ernest menarik tangannya hingga berdiri. Dia cepat-cepat membereskan gaunnya yang kusut. "Ini istana Alicia."

Veera membuang muka. "Aku bosan di tempatku."

Ernest memicingkan matanya. "Kemari."

Veera hampir terlonjak sekali lagi ketika Ernest tiba-tiba menutup kepalanya dengan topi pelayan yang semula sudah terlepas. Dia menarik tangan Veera, baru melepas ketika mereka keluar istana. "Berlagaklah kau pelayanku." Adalah titahnya sebelum dia membawa pergi Veera keluar dari pekarangan istana Alicia. Mereka melewati banyak pelayan yang bahkan tidak berani mengangkat wajah di hadapan Paduka. Dan ketika sampai di Istana Zamrud Veera, beruntungnya satu-satunya pengawal yang sedang berjaga adalah pria bernama Huges yang sudah menjadi pengawal pribadi Veera sejak hari pernikahan Ernest.

Pria itu seketika terperanjat. "P-paduka? Apa yang Anda lakukan di sini?" Dari gelagatnya yang tidak sekaku pengawal lain, Veera tebak dia cukup dekat dengan Ernest.

"Jangan tanyakan apa-apa lagi. Kirim seluruh pengawal di sini ke dalam mes, dan jangan sampai ada yang tahu aku berkunjung."

"B-baik... Paduka. Tapi, mengapa?"

"Kau mempertanyakan perintahku?"

Huges seketika mati gaya. "Tidak mungkin, Paduka! Segera akan saya laksanakan."

Tidak terbayang bagi Veera kalau Ernest pernah melangkah ke dalam istana ini yang begitu terbengkalai dan bagai tidak terawat sama sekali. Namun bagaimana dia dengan yakin melangkah di pekarangan, bagai dia sudah menghafal seluruh jalannya di luar kepala, meyakinkan Veera kalau dugaannya salah. Ernest bahkan langsung duduk di bawah sebuah pohon rindang yang Veera sendiri tidak tahu berdiri di belakang istananya.

Ketika seperti ini, mengingatkan Veera kembali ke pohon ek di mana mereka biasa bertemu. Kenangan-kenangan indah mereka. Namun ketika pikirannya kembali mengingat seribu sakit yang Ernest berikan kepadanya akhir-akhir ini, hatinya kembali mengeras.

"Apa pantas bagimu untuk duduk di tempat kotor seperti itu, Paduka?" tanya Veera sinis.

Ernest memicingkan matanya. "Ini bukan kali pertama, kau sendiri harusnya tahu." Sial, Ernest saja bahkan membahas mengenai pohon ek mereka. "Dan hentikan sebutan itu. Aku punya nama."

"Aku juga rakyatmu. Sudah sepantasnya aku memanggilmu Rajaku."

Ernest menggeram. "Aku suka suaramu memanggil namaku. Jadi hentikan." Ernest menarik tangan Veera, memaksanya duduk di samping. Veera memalingkan wajahnya, tidak bahkan mau melihat wajah Erenest yang sedekat ini. "Sejak kapan kau mengenal Alicia?"

"Tadi."

Kening Ernest berkerut. "Jauhi dia. Aku tidak suka melihatmu bersamanya."

Kali ini, Veera membalikkan wajahnya. Kegeraman merunut ekspresinya namun Veera mencoba menahan jengkel. "Di istana besar ini, hanya ada satu wanita yang berkenan berbicara denganku. Satu-satunya yang mau menganggapku teman ketika aku diasingkan. Dan kau bahkan kini mencoba merenggut satu-satunya orang yang masih memedulikanku?"

"Aku berhak mengaturmu begitu."

Kian sulit saja bagi Veera untuk menahan rasa kesalnya. "Dan membiarkanku membusuk sendiri kesepian?"

"Kau memiliki dayang untuk menemanimu."

"Mereka tidak bahkan bisa kusebut teman dan kau seharusnya juga tahu itu." Veera berjanji dia sudah mencoba untuk tidak menaikkan suaranya. Dia menarik nafas panjang. "Begini. Aku tidak membutuhkan pelayan-pelayanmu itu. Aku juga tidak membutuhkan hadiah darimu, kalung, sutra, berlian, semua itu kau boleh ambil saja. Tapi biarkan aku mengenal Alicia lebih banyak, sebab dia satu-satunya orang yang mau meminjamkan telinga padaku bahkan ketika kau saja tidak mau."

"Tidak. Kau tidak pantas bersamanya."

Veera menarik nafas berat. "Pada akhirnya, kasta lagi, ya?" Dia menggeram, melepas kembali tatapan dari Ernest. "Wanita murahan sepertiku tidak sama sekali pantas bersama Ratu sepertinya, jadi lebih baik aku menghindari." Veera mengecilkan suaranya. "Pada akhirnya kau sama saja seperti ibumu. Membelaku padahal kau berpikir aku begitu rendahnya."

"Siapa?" Ernest menaikkan alisnya.

"Apa aku mengucap sesuatu yang salah?" tantang Veera.

"Kau berkata aku mirip dengan siapa?" Veera terkejut ketika Erenest memegang dagunya, memaksa Veera untuk menatap matanya.

"Ibumu." Veera mengerutkan kening. "Apa salahnya dengan itu?"

"Jangan. Pernah. Mengatakan. Aku. Serupa. Dengan. Wanita. Itu!"

Veera cukup terkejut. Dia yang awalnya marah, kini Ernest bahkan lebih geram lagi dari padanya. Hanya karena... disamakan dengan ibunya?

"Aku tidak merasa ada yang salah aku mengatakan begitu." Veera keras kepala. Dia menepis tangan Ernest, percaya diri Sang Raja tidak mungkin melukainya walau berlaku kurang sopan sekalipun. " Lagi pula, apa lagakmu itu kepada ibumu? Kau membentaknya, kau mengancamnya! Aku tersinggung jika anak tidak tahu santun seperti itu menceramahiku tentang bergaul dengan seseorang atau tidak!"

"Kau tidak tahu apa-apa tentangku dan ibuku!" geram Ernest.

"Karena kau tidak pernah memberitahuku, benar?" semprot Veera balik. "Tapi satu hal yang aku tahu. Setelah kehilangan ayahmu, satu-satunya orang tua yang masih kau miliki adalah ibumu sendiri, dan sudah sepantasnya kau menyayanginya selagi masih ada! Aku tidak bisa bertemu ibu atau ayahku lagi, Ernest. Dan melihat bokong brengsekmu memperlakukan orang tuamu seperti itu, kau pikir aku bisa menjaga emosiku-"

"Kalau begitu tukar saja nyawa wanita itu dengan ibumu kalau memang bisa membuatnya hidup lagi. Puas?"

Veera terpaku kaku mendengarnya. "A-apa?"

Bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan itu... tentang ibunya sendiri?

"Apa katamu?"

Ernest bangkit dari rumput, memunggungi Veera. "Kembali ke kamarmu." Suaranya terdengar begitu jauh, penuh dengan amarah, dan seakan jengkel tanpa main. Dia bahkan tidak ingin menatap wajah Veera lagi.

"Bagiku Alicia yang tidak pantas bersamamu, bukan sebaliknya. Tapi kalau kau bersikukuh ingin bertemu, kau boleh mengunjunginya asal menggunakan pakaian pelayan menyedihkan itu. Jangan sampai ada yang tahu." Tangan pria itu mengepal. "Dan jangan sekali lagi mengucap Ibuku di hadapanku, kalau kau tidak mau tahu akibatnya."

Veera menganga, melihat sosok Ernest yang menjauh darinya. Meninggalkan gumam samar di udara, "dia bukan ibuku." Yang sampai akhir tidak Veera pahami. 

***

Thank you buat semuanya yang udah sempetin mampir ke cerita ini! Thank you buat Views, Vote, Komen, dan Share kalian.

Intinya Thank you so much!

Follow me on instagram : nnareina

See you soon di next chapter, and hope you all have a nice day!

Love you!

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaWhere stories live. Discover now