Chapter 5

7.2K 414 9
                                    

Veera POV

Menangis adalah hal yang kubenci. Kurasa sebab aku merasa lemah jikalau aku menitikkan air mata. Namun aku tidak bisa menahan mataku dari menumpah-ruah air mataku ketika aku sampai di kamarku malam itu, sepulang dari kamar Ernest.

Aku terbengong beberapa saat di atas sepreiku, dan ketika kusadar, aku sudah menangis tersedu-sedu. Aku menangisi ketakutan terbesar di dalam hatiku, kalau pria yang selama ini aku anggap kekasihku nyatanya telah melamar wanita lain tanpa sepengetahuanku. Juga aku menangisi tentang nasibku. Entah apa yang akan terjadi padaku jikalau aku dibawa ke ibukota nantinya?

"Aku hanya ingin pulang." Aku membisik parau, ketakutanku bagai menelanjangiku.

Namun malam berganti menjadi fajar. Aku belum juga bisa tertidur, tidak juga berhasil kabur dari kediamanku. Lantas fajar menjadi terang. Aku terbangun keesokan paginya hanya dengan 2 jam tidur, yang sangat tidak cukup tentunya, sebelum 4 orang wanita mendatangi kamarku, dan melakukan yang mereka sebut...

Sesi mandi.

Ya, aku baru tahu bangsawan gemar mandi ditemani rombongan seperti ini.

Aku tidak nyaman sepanjang mandi pagiku. Apalagi ketika mereka melucuti dalamanku. Aku sungguh ingin pulang rasanya. Dan keinginanku tidak kunjung pudar sampai aku dibawa keluar dari kastel ini. Aku selalu mencari-cari celah, apa saja, yang bisa membawaku keluar dari tempat menyeramkan ini. Dari perjalananku menuju ibukota.

Namun rupanya Ernest sudah kelewat mengetahui watakku.

Dia memaksa Lios – sang kapten barisan prajurit – untuk berada di sampingku sepanjang waktu. Aku berkeringat tidak karuan di balik gaun perjalananku. Aku butuh celah. Aku butuh celah. Sedikit saja, supaya aku bisa kabur dan kembali ke rumahku. Namun Lios bagai membaca setiap gerak gerikku. Dia meletakkan dua prajurit untuk selalu mengapitku sepanjang perjalanan dari pintu Kastel sampai kereta kuda, dengan 4 pelayan tadi mengapit depan belakangku tanpa kesempatan untukku bisa kabur. Lios sendiri menjaga punggungku. Benteng yang sempurna untuk tawanan yang menyedihkan.

Aku rasanya ingin menangis ketika aku melihat bayangan terakhir desa Amura dari balik jendela kereta kuda. Aku rasanya ingin terbang setinggi mungkin, dan melandas di desa kesayanganku. Bukannya dibawa pergi seperti ini kepada masa depan yang tidak jelas wujudnya.

Namun aku tahu aku tidak bisa.

Aku tidak berdaya untuk itu.

Selagi dihadapi dinding keputusasaan, aku menunduk sendu di dalam kereta kudaku. Aku tidak suka menangis di hadapan orang asing, namun diapit dua prajurit di dua sisiku, aku tidak bisa menahan air mataku untuk sekali lagi luruh dari mataku.

Siapa saja, tolong bantu aku. Aku ingin pulang.

***

Aku ketiduran di perjalanan yang menghabiskan... mungkin 4 jam itu. Perjalanan yang cukup jauh mengingat bagaimana kami berkecepatan lambat menuju ibukota. Awalnya aku tidak ingin terlelap, namun kurangnya tidur dan mata yang perih sesudah menangis, berhasil menjadi obat tidur ampuh bagiku yang kelelahan ini.

Ketika aku melek, aku tidak bisa melihat apa pun di luar. Sebab kali ini kedua jendela ditutupi oleh dua prajurit yang mengapitku, tampaknya sama mengantuknya dengan aku. Namun aku bisa mendengar sorak-sorai dari luar, persis seperti rintih para penghuni Desa Amura ketika raja dan delegasinya berarak-arakan di tengah Desa. Aku seketika terbelalak.

Apa kita sudah sampai ibukota? Apakah itu suara rakyat yang mengundang kedatangan kembali Raja mereka?

Aku rasanya ingin menggeser kepala salah satu prajurit di sampingku, aku ingin melihat bagaimana tampaknya ibukota.

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaWhere stories live. Discover now