Chapter 22

4.3K 310 9
                                    

Bersandar di pundak Poleus, di bawah pohon ek ini rasanya sangat tidak benar.

Bukan maksudnya pundak Poleus keras atau dingin. Dia adalah pria yang sangat hangat. Namun membayangkan pohon ek penuh kenangan ini, jelas pundak Poleus bukan tokoh yang seharusnya ada di bawah naungan kini. Veera diam-diam mendamba pundak pria lain. Pria yang telah menyiksanya. Pria yang seharusnya dilupakannya. Pria yang dia benci namun dia sayangi di saat yang sama.

Pria yang begitu buruk, jikalau dibandingkan dengan pria yang sekarang tengah bersamanya.

"Di sini pertama kali aku bertemu dengan Ernest." Entah mengapa Veera memutuskan untuk menceritakannya. Dia bisa merasakan pundak Poleus menegang, mendengar nama sahabatnya. Kalau ada tempat yang dibayangkan seseorang untuk menjadi lokasi jatuh cintanya seorang Raja, tentu tidak ada yang membayangkan di bawah sebuah pohon di tengah kawasan antah berantah, di samping sebuah desa kecil. "Tempat pertama kali kami bertemu, lalu dua minggu sekali kami akan diam-diam bertemu di sini. Dan akhirnya di sini juga aku dan Ernest saling suka."

Poleus terkekeh. "Kau mencoba membuatku cemburu dengan membawaku kemari?"

"Tidak. Aku hanya merindukan tempat ini." Veera menarik nafas panjang. "Kendati berjumpa dengan Ernest atau tidak, sejak semula tempat ini sudah menjadi tempat favoritku untuk membaca buku. Katanya dulu ini juga tempat favorit mendiang ibuku. Aku meneruskan kesukaannya semata."

Berada di sini sungguh menenangkan. Di bawah naungan pohon rindang ini, Veera rasanya akhirnya pulang ke rumah. Bukan Istana Zamrud. Namun ke desanya, di mana dia seharusnya berasal.

Namun di bawah naungan ini pula dia merindukan satu sosok yang dulu sempat menjadi nomor satu di dalam kalbunya. Sosok pria yang dulu dicintainya sepenuh hati. Pria yang sempat menjadi kesatrianya, sebelum menjadi antagonis hidupnya. Andai waktu mampu diputar kembali, dan kenangan indah itu bertahan hingga kini.

Tiba-tiba Veera mengingat keinginan Ernest untuk tidak menjadi Raja. Bagaimana dia ingin mereka berdansa di bawah pohon ini, setiap malam, tanpa memikirkan pandangan orang lain.

Ketika dia kemari kini, Veera menginginkan hal yang sama.

Dia melihat langit yang mulai meredup, lalu satu lagi nafas berat dia udarakan. Tidak betah mendapati diri memikirkan pria yang tidak sepantasnya dia pikirkan.

"Aku ingin makan satu hal lagi."

Poleus mengerutkan keningnya. "Kau tidak akan muntah lagi?"

"Satu makanan lagi saja." Veera tersenyum, sembari membersihkan bokongnya dari rerumputan. "Aku akan baik-baik saja."

***

"Astaga, anakku sayang. Kupikir kau celaka atau tertimpa musibah, kau tidak akan tahu sebanyak apa aku mengkhawatirkanmu sampai aku nyaris tidak bisa tidur, Veera!" Pelukan Bu Ara adalah hal pertama yang menghunjami Veera sesaat dia sampai di toko buah wanita gempal itu. Seperti biasa, mengenakan celemek di balik bajunya sekalipun ini sudah malam. "Kau meninggalkanku seorang diri di alun-alun kota, lalu menghilang tanpa jejak! Seharusnya kau bilang saja sejak semula kau memiliki pendidikan di ibukota sehingga kita bisa berpamitan dulu, konyol!"

Veera tertegun mendengarnya. "Mereka mengatakan itu? Kalau aku bersekolah di ibukota?"

Bu Ara melepas pelukannya, lalu keningnya berkerut bingung. "Bukankah begitu?" tanyanya. "Seorang pria tampan bernama.... Lios? Ah iya, itu namanya. Dia seniormu di sekolah, bukan? Dia mengirimku parsel yang menyertakan surat kalau kau diterima sekolah jauh-jauh sampai ibukota."

Veera tidak tahu rumor begitu tentangnya mengalir. Namun jikalau itu benar adanya, dia sedikit lega. Sebab walaupun kebohongan, fakta kalau dia diculik oleh seorang Raja dan dijadikan peliharaan di istana, jauh lebih mengerikan ketimbang bersekolah di luar kota, Bu Ara akan khawair sampai tidak bisa tidur sama sekali.

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaWhere stories live. Discover now