Chapter 14

5.3K 374 7
                                    

Ruangan gelap, kasur megah, lantai yang dingin. Perpaduan yang indah untuk sebuah tidur malam.

Perpaduan paling menyeramkan di tengah malam kelam ini.

Veera berjanji dia telah mencoba untuk memberontak sebanyak yang dia bisa. Sebutkan saja. Dia telah mencoba kabur walau pinggangnya kembali ditangkap. Dia mencoba menggigit tangan Ernest, sampai membekaskan luka merah melintang di sana, namun tetap tidak berhasil melepaskan genggaman kuat pria itu. Dia bahkan mencoba memelintir pergelangan Ernest, namun tenaganya sebagai wanita tidak menjadi tandingan bagi pria kekar itu. Dia benar-benar telah mencoba, namun tidak ada satu pun usahanya yang membuahkan hasil.

Semakin Veera memberontak, semakin geram pula Ernest tampak. Dia terseok-seok mencoba menyamakan langkah besar-besar Ernest yang membawanya ke kamar Veera. Tangannya sampai sakit, setelah mencoba melawan, dan kali ini ditarik kencang, tanpa sama sekali tanda ampun yang ditunjukkan. Veera sudah menangis ketika punggungnya didorong menyentuh matras kasurnya. Dia mencoba mengimpit ke ujung ranjang, namun Ernest mencekal kencang pergelangan kakinya.

Ketika pria itu melepas pakaiannya, hanya akan ketakutan murni yang tersirat di benak Veera. Dia mengingat malam dia kehilangan keperawanannya yang menjadi malam terburuk yang pernah dia lewati sepanjang hidupnya. Raganya mulai bergetar, tangisnya mulai tak terbendung. Ketika Ernest menahan kedua sisi Veera menindihi tubuhnya, Veera langsung membuang muka, memejamkan matanya, dan menangis tanpa kendali.

"Hentikan, kumohon." Rintihannya selirih cicit tikus. "A-aku akan lakukan apa pun. Namun jangan ini." Dia bergidik begitu ketakutan ketika jemari Ernest menyentuh wajahnya, Sampai pria itu menarik lengannya. "Kumohon. Ampun, Ernest. Ampuni aku."

"Setakut itukah kau pada sentuhanku, Veera?" Veera membisu, tidak kuasa menjawab. "Padahal dulu kau selalu menerjang ke dalam pelukanku setiap kita bertemu?" Amarah terdengar di suaranya, barangkali Ernest tidak terima kalau peliharaan kesayangannya menghindari sentuhan majikannya. Namun dia mencoba meredamnya, tidak ingin setiap berjumpa, hanya pertikaian yang menghampiri mereka.

"K-kau yang melukaiku." Veera tersengguk. Dia menutup wajahnya dengan jemarinya, ketakutan setengah mati bahkan untuk menatap wajah Ernest. "Kau menyentuhku ketika aku bahkan bukan istrimu. Apa kau tahu... betapa memalukannya itu?" Veera tidak bisa menahan kesakitan di suaranya. Dia benar-benar membenci malam itu yang dia habiskan dengan Ernest. Dia benar-benar ketakutan untuk mengulangi malam yang sama.

"Kalau begitu, anggap dirimu istriku."

Veera tertegun. "A-apa?"

"Tidak ada cara bagiku untuk menyentuhmu selain seperti ini. Kalau begitu, kau yang berpikirlah kalau aku ini suamimu, pria yang layak memilikimu seutuhnya." Ernest membuka tangan Veera dari wajahnya, untuk menatap paras wanita yang baginya paling cantik di dunia ini. "Sebab aku tidak mungkin bisa menahan diri, ketika kau wanita yang paling kuinginkan."

Veera tersedu kian banyak. "Mana mungkin aku bisa?"

"Lakukan, Veera."

"Jangan bercanda!" Veera nyaris menempeleng Ernest kalau Ernest tidak menahan pergelangan tangannya. Ketakutan yang memenuhi parasnya, kini berbaur dengan amarah yang sama pekatnya. "Kau adalah suami satu-satunya temanku. Kau memiliki istri resmi dan aku bukan orang yang berjalan bersamamu di hari pernikahanmu. Aku tidak bisa menganggap ketika kenyataannya tidak seperti itu."

"Kalau begitu," Veera memekik ketika Ernest menarik tali gaunnya, membuka resleting di punggungnya, "terimalah rasa malumu lapang dada."

"Ernes-"

Veera tidak sempat menjawab, sebelum dia dirundung ciuman lamat dari bibir Ernest. Ciuman yang baru kedua kalinya Veera rasakan. Ciuman yang dipenuhi dengan rasa haus, dan nafsu yang tinggi. Ciuman panas yang mereka sebut romantis, namun bagai mencabik Veera dari relung hatinya yang terdalam.

Dia mencoba untuk ke sekian kalinya menghentikan Ernest dari melucuti gaunnya. Namun tangan pria itu jauh lebih kuat, lebih cekatan, Veera tidak bisa melakukan apa-apa selama dia dibungkam. Dia mencoba mencakar punggung Ernest sampai dilepaskan, namun pria itu lebih cepat menyatukan tangan Veera di atas kepala, menghentikannya dari melukai tubuh Ernest sekalipun untuk membela diri.

Pria itu tidak tampak sama sekali ingin melepaskan Veera. Ada bersit kesakitan di sirat matanya. Seakan dia terluka, mendapati wanita yang paling dicintainya di dunia, kini menolak setiap sentuhannya. Mendapati kalau orang yang paling ingin disentuhnya, membenci setiap jengkal raganya. Ernest menekan Veera kian dalam ke matras. Dia membiarkan tubuh mereka yang tidak dibalut pakaian, saling bersentuhan. Kulit lembut Veera bagai beledu yang menghangatkan raga Ernest. Namun sangat menyakitkan, ketika bagi wanita itu, raga Ernest adalah perisai berduri yang melukai sekujur raga dan jiwanya.

Ketika Ernest melepas ciuman, Veera membuang muka sembari terengah. Wajahnya merona akan rasa malu. Dia tidak ingin Ernest mantapnya dirinya yang telanjang bulat.

Diam-diam Veera berpikir dalam hati. Apa ini juga pemandangan yang Alicia lihat di malam pertama mereka? Membayangkannya saja, hatinya rasanya tercabik-cabik menjadi ribuan puing.

"Dahulu rambutmu tidak sepanjang ini. Kau memangkasnya sependek bahu." Ernest mengendus rambut Veera. "Namun harumnya masih sama bahkan sampai kini."

Veera meneteskan setitik air mata. Keputusasaan merambati hatinya. "Pembohong. Aku sudah lama tidak memangkas rambut."

"Aku menceritakan tentang 8 tahun yang lalu."

Veera terdiam sejenak kebingungan. "Kita belum berjumpa saat itu."

"Benar rupanya. Kau lupa." Ernest mencium bibir Veera sekali lagi, kali ini begitu lembut. "Delapan tahun yang lalu, ada seorang pria yang jatuh di dekat pohon ek desamu, di suatu sore. Saat itu kau tengah membaca buku, membawa sebuah keranjang bersamamu. Pria itu mengotot kalau dirinya baik-baik saja, tapi kau bersikeras ingin mengobatinya dengan alat p3k yang kau bawa di dalam keranjangmu."

Mata Veera melebar. "Karena aku sering terjatuh dan Bu Ara mengatakan untuk membawa perban ke mana-mana." Kali ini dia baru menatap Ernest. "Dia terjatuh dari kuda."

Ernest mengangguk. "Karena itu aku tidak ingin kau menunggangi kuda. Aku tidak ingin kau celaka seperti aku dulu."

"Itu... kau?"

"Aku jatuh cinta pandangan pertama ketika melihatmu waktu itu. Dan semenjak itu, aku selalu menanti kali selanjutnya aku bisa menjumpaimu." Ernest membelai rambut Veera, begitu lembut, bagai tengah menyentuh beling pecah belah. "Semenjak hari itu, aku terpesona oleh matamu. Oleh senyumanmu. Oleh sentuhanmu. Dan kau sepantasnya tahu seburuk apa aku merasa ketika kini kau tidak bahkan sama sekali mau menunjukkan serimu itu padaku lagi. Padahal kau lakukan kepada Alicia. Kepada prajuritmu. Kepada dayangmu. Aku sendiri... yang kehilangan pemandangan favoritku."

Veera lagi-lagi membuang muka. "Kau yang merampasnya dariku, Ernest. Kau menghancurkanku sampai tidak bisa bangkit lagi."

"Walau begitu." Ernest turun, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Veera. Menghela nafas panjang di samping telinganya. "Aku tidak bisa kehilanganmu, Veera. Apa pun yang kumiliki di dunia ini, rampas saja semua. Tapi jangan kau, Aku tidak bisa kehilanganmu."

"Mengapa kau begitu tergila-gila padaku?" Veera membisik lirih. "Aku hanya wanita serampangan yang membantumu di hari yang sama serampangannya."

"Kau tidak mengerti. Kau segalanya dari semua yang telah hilang dariku."

Dan benar ucapan Ernest, Veera tidak mengerti apa maksud kalimatnya.

Ernest menutupi tubuh mereka dengan selimut, tidak ingin Veera kedinginan di bawah sentuhannya. Dia kembali meraba paha Veera, naik ke pinggangnya, sampai ke payudaranya. Dia mencium lembut bibir Veera, lalu membisik sama lembutnya. "Karena itu jangan menolakku. Sebab aku membutuhkanmu, jauh lebih banyak dari yang kau pikirkan." 

***

Thank you buat semuanya yang udah sempetin mampir ke cerita ini! Thank you buat Views, Vote, Komen, dan Share kalian.

Intinya Thank you so much!

Follow me on instagram : nnareina

Update lagi lusa (dua hari sekali) jam 7 malem, ya! Enjoy!

See you soon di next chapter, and hope you all have a nice day!

Love you!

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaWhere stories live. Discover now