Chapter 17

4.8K 353 106
                                    

Kalau ada dua hal di dunia ini yang tidak Veera kuasai, barangkali itu adalah berkuda dan menari. Memang, tidak seburuk ketika berkuda, namun berdansa di atas sepasang sepatu hak tinggi, lagi-lagi adalah malapetaka bagi tungkai Veera yang bahkan sulit seimbang.

Dia menolak Ernest untuk alasan itu, namun pria itu membantah dengan berkata, "aku tidak pernah memintamu untuk menjadi pasangan dansaku. Aku menyuruhmu. Kau tidak memiliki kesempatan untuk menolak." Andai pria itu tahu sebanyak apa Veera ingin mencabik wajah Ernest saat itu juga. Namun sebelum bisa, Ernest lebih dulu meraih tangannya, bangkit dari tanah, lalu perlahan membawa Veera mendekat.

Seketika, denting lagu dansa sekali lagi berkumandang dari arah aula.

Ernest menyuruh bawahannya untuk menyetel lagu dansa terakhirnya, tepat jam 12 malam. Veera yang bagai manekin, kali ini tidak bisa lagi membantah, ketika Ernest mulai mengalun bersama dengan raganya. Pria itu begitu piawai menari, sudah ditanamkan dalam raganya sejak dia belia. Sedangkan Veera adalah malapetaka dibandingnya. Dia berpuluh-puluh kali nyaris menginjak kaki Ernest, tersandung, juga hampir terkilir. Namun setiap dia salah langkah, Ernest selalu sigap meraihnya.

Dia mengajarkan Veera berdansa, begitu lambat laun, bagai kesabarannya tidak ada penghujung. Entah pergi ke mana Ernest pemarah dengan kesabaran tipis yang Veera kenal. Malam ini Ernest bagai berubah 180 derajat. Dia menjadi seorang guru, yang terbaik yang pernah Veera temui.

"Ke kiri. Ke kanan," Ernest mengajarkan. "Pegang tanganku, berputar."

Mengagumkan bagaimana dalam 15 menit saja Veera sudah mulai bisa menari dengan banter.

Dia mencoba menyingkirkan jauh perasaan apa pun yang muncul di dalam dadanya. Terlebih derak kupu-kupu yang perlahan demi perlahan beterbangan di dalam perutnya. Bagaimana pun juga, dia telah mendamba ini sepanjang malam tadi berlalu. Dia memikirkan pesta dansa di istana, betapa indahnya pasti menghabiskan waktu menari gemulai, mengenakan gaun cantik, mengalun bersama melodi.

Bersama seseorang yang dicinta.

Tetapi, mati pun Veera tidak mau mengakui kalau dia masih mencintai Ernest.

"Aku lebih banyak berbincang dengan tamu ketimbang berdansa tadi." Ernest memulai pembicaraan, ketika melodi melamban, dan kini mereka hanya mengayunkan raga lembut. "Hanya dua kali berdansa, itu pun dengan Alicia."

Nama Alicia kembali memberatkan hati Veera. "Apakah dengan itu saja kau tidak puas? Dia sangat cantik malam ini."

Ernest menggeleng. "Ada wanita lain yang ingin kuajak berdansa."

"Siapa?"

"Kau."

Veera merasa bodoh, mempertanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Kalau bukan dirinya, untuk apa Ernest repot-repot tinggal sampai selarut ini hanya untuk berdansa bersama Veera?

"Aku memikirkanmu berulang kali sejak pesta dimulai. Aku membayangkan kau yang ada di sampingku." Veera hampir merona, mendapati Ernest memikirkannya, seperti dirinya bergumul di kamar tidur, memikirkan pria itu juga. "Kalau begitu, aku mau berdansa, tidak peduli berapa lagu pun yang diputar. Jika bersamamu."

Veera bersusah payah menahan diri agar tidak terbawa perasaan. "Alicia akan sedih kalau mendengar itu."

Ernest menghela nafas berat. "Dia tidak akan. Kita tidak punya perasaan apa-apa." Veera tidak akan membantah. Sebab Alicia juga mengatakan hal yang sama kepadanya. "Veera."

"Apa?"

"Kau bertanya kemarin mengapa aku tidak ingin menjadi raja, bukan?" Dia memutar sekali lagi tubuh Veera, lalu menangkapnya tepat pada ketukan nada. "Ini alasannya."

"Maksudmu?" Veera sedikit terengah, tidak terbiasa menari seperti ini.

"Kalau aku bukan Raja, aku tidak perlu diam-diam berdansa denganmu seperti ini." Secercah kesedihan berbalut dalam suara Ernest. Pria yang jarang menunjukkan kelemahannya itu, kali ini terdengar rentan dari suaranya yang serak. "Barangkali kita bisa berdansa setiap malam di bawah pohon ek desamu itu. Tidak perlu memikirkan pandangan siapa-siapa. Hanya berdua saja." Ernest melepas tatapannya dari Veera, menatap rumput yang ikut berdansa diterpa angin di sekitar mereka. Baru kembali menatap Veera. Matanya kali ini jauh lebih sendu dari sebelumnya. "Aku sering memimpikan hidup seperti itu. Mimpi memilikimu, dan menjadi milikmu."

Veera tidak bisa menjawab, ketika Ernest mengatakan begitu.

Diam-diam di dalam benaknya, Veera merajut imaji. Bagaimana kalau Ernest benar bukanlah Raja? Hanya seorang pria dari desa lain, yang menemui Veera di Desa Amura?

Jika begitu, tidak ada takhta yang mengganggu mereka. Sampai sekarang mereka masih sepasang kekasih. Tidak ada kebencian di antara mereka. Tidak ada pernikahan Ernest. Tidak ada Alicia. Hanya ada sepasang kekasih yang saling mencintai.

Membayangkannya saja, Veera rasanya nyaris menangis.

Betapa indahnya hidup seperti itu?

Sedehana, namun penuh dengan rasa sayang. Dunia di mana Veera bisa mencinta sepuas hatinya. Di mana Ernest bisa memeluk Veera semaunya. Di mana mereka tidak perlu saling mengasingkan masing-masing. Di mana mereka bisa selalu menghabiskan waktu berdua, tanpa masalah politik di antara mereka.

Veera tidak berani membayangkan hidup seperti itu lebih lama. Bayangan ini membunuhnya secara perlahan, menyadari kenyataan tidak mungkin berlalu seindah itu.

Selagi mereka berayun, kali ini bergeming, Veera menyadari dari belakang kepala Ernest, betapa tinggi dan besarnya Bulan tampak malam ini. Betapa indah cahayanya, betapa elok tampilannya. Dia kian ingin menangis membayangkan bulan itu.

Sebab dia dan Ernest bagai bulan dan matahari. Tidak bisa dipersatukan, bagaimana pun mereka mencoba.

"Kau sempurna malam ini, Veera."

Bukannya tersipu, hati Veera menjerit kesakitan. Cinta dan benci berlabur di dalam hatinya, menjadi sebuah perpaduan perasaan yang begitu perih, nyaris tidak tertahan.

Veera melerai tatapan dari Ernest, dan pelan dia membisik lirih. "Selamat ulang tahun, Ernest."

Aku merasa bodoh.

***

"Jadi gadis itu yang menarik hati Ernest, dan diam-diam disembunyikannya di istana?" Dua bayangan mengumpat di balik benteng istana utama, menyaksikan dansa penutup Sang Raja malam ini, dengan kekasih rahasianya. Pria itu yang membawa binokular, tersenyum lebar. "Menarik. Betapa cantiknya wanita itu."

Dia mengisyaratkan pria di belakangnya – tangan kanannya – untuk mendekat, lalu pelan-pelan dia membisik.

"Carikan aku informasi wanita itu banyak-banyak."

"Untuk apa, Pangeran?"

"Mungkin Kerajaan Krona menemukan calon Ratunya malam ini." 

***

Thank you buat semuanya yang udah sempetin mampir ke cerita ini! Thank you buat Views, Vote, Komen, dan Share kalian.

Intinya Thank you so much!

Follow me on instagram : nnareina

Update lagi lusa (dua hari sekali) jam 7 malem, ya! Enjoy!

See you soon di next chapter, and hope you all have a nice day!

Love you!

The King's Pet | Peliharaan Sang Rajaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن