Chapter 9

5.8K 381 12
                                    

"Hadiah kelima." Veera menghela nafasnya panjang, perasaannya menjadi dongkol. "Di minggu ini saja padahal baru hari rabu." Dia meletakan hadiah yang baru diberikan Ernest untuknya asal, tidak bahkan memiliki keinginan untuk menyentuhnya, lantas merebahkan pundaknya kembali ke matras tidurnya. "Dia mempermainkanku. Apa yang lebih menyebalkan ketimbang itu?"

Walau tidak memiliki jam di kamarnya, Veera mulai belajar untuk menghitung hari yang berlalu lewat jendela. Menghitung Petang dan malam yang silih berganti.

Kini Veera menghitung kalau 2 pekan telah usai, selagi dia dikurung tanpa dipertemukan oleh siapa-siapa kecuali pengawal dan dayang-dayangnya. Satu-satunya kunjungan yang dia dapatkan barangkali hanyalah paket demi paket hadiah yang Ernest berikan kepadanya, 2 minggu terakhir. Isinya beragam. Ada kalung berlian yang tidak bahkan mau Veera bayangkan harganya, gaun-gaun cantik sederhana, namun terbuat dari bulu terlembut atau barangkali sutra, yang kini diletakkan di lemarinya oleh para dayang tanpa ingin Veera sentuh. Jam tangan mulia, bahkan anting-anting Ruby kini memenuhi seisi lemarinya. Namun tidak satu pun Veera acuhkan.

"Dia pikir aku akan luluh oleh hadiah remeh." Veera menelungkupkan wajahnya di balik bantal. "Jangan harap."

Tidak ketika rasa pengkhianatan masih menghantui ujung lidahnya. Patah hati masih bersinggah di relung dadanya, mendapati diri dilecehkan oleh Ernest yang bahkan menikah tepat keesokan paginya.

Siang ini cuaca begitu cerah. Udara asiri bagai mengundang kantuk di tengah petang. Veera mulai menyukai tidur siang, menurutnya itu pelarian paling ampuh dari setiap kelumit yang memenuhi benaknya. Namun siang ini dia sepertinya harus melewatkan tidur tenangnya.

"Apakah Anda kemari sudah atas izin Paduka, Yang Mulia?" Veera mendongak dari ranjang ketika dia mendengar kerusuhan dari luar pagar. Dia mengintip ke jendela, mendapati hampir seisi istananya berhamburan ke luar untuk menyambut seorang tamu tidak diundang. Veera awalnya tidak mengenali perempuan bergaun biru muda itu yang mengenakan topi berbulu angsa raksasa. Namun ketika wanita itu melepas aksesoris kepalanya, Veera langsung mengumpat di balik jendelanya, merapat ke dinding, tubuhnya kaku.

"Ratu Alicia." Nafasnya bergemuruh kencang. "Apa yang dia lakukan di sini?"

Kabur menyelinap ke balik selimut terdengar sedap. Namun sialnya, pintu kamarnya lebih dulu dibuka lebar.

"Selamat Pagi, Nona. Yang Mulia Ratu Alicia Nemersa Domanicos, telah datang untuk mengunjungi Anda," tukas Rinn – yang mengagumkannya masih mau melayani Veera setelah apa yang telah dia lakukan 2 minggu lalu – membungkuk hormat.

Veera semakin merapat ke dinding. "Katakan aku sedang sakit."

"Tidak ada keterangan dokter yang menyatakan demikian, Nona." Keparat, kastel dengan sejuta kekakuannya. "Mari ikuti saya."

Rinn tidak sedikit pun mengacuhkan perasaan Veera. Tidak aneh, kurasa. Derajat Alicia dan Veera membuat dayang bodoh sekalipun tidak bisa mempertanyakan titah mana yang harus dituruti. Meski menyadari begitu, berat di hatinya tetap menggunung, seakan melumpuhkan.

Veera menahan debaran di setiap detik yang dia lalui menyusuri istananya. Dia nyaris terjatuh dua kali banyaknya di tangga oleh kegusaran. Kalau dia menebak alur pertemuannya dengan Ratu Alicia, maka kekakuan dan kebencian akan menjadi jawabannya.

Jelas, istri mana yang akan menghargai wanita simpanan prianya yang bahkan dimanja oleh harta benda berupa batu Ruby dan kain sutra?

Membayangkan pertemuan mereka yang pasti tidak main-main kaku saja, Veera ingin rasanya angkat kaki, atau ditelan bumi. Atau kedua-duanya.

Namun...

"Selamat Pagi, Nona Veera Avera. Aku sangat menantikan hari ini di mana aku bisa berjumpa denganmu." Veera bisa bersumpah, dia hampir kelepasan melongo di hadapan Sang Ratu. "Teh di istanamu sangat harum, aku menyukainya. Kuharap kau bersedia berjamu denganku siang hari ini, Veera."

The King's Pet | Peliharaan Sang RajaWhere stories live. Discover now