Raungan Kesedihan

492 23 0
                                    

Taburan bintang di angkasa tidak terlihat dengan jelas. Awan hitam memayungi bumi, membuat cahaya rembulan tidak nampak. Angin dan petir bergemuruh. Seolah melampiaskan amarah. Tak lama kemudian hujan lebat menghantam permukaan bumi. Tetes demi tetes air tertumpah ruah. Seakan menangisi kepergian seseorang. 

Di kala tetesan air menerpa, sepasang anak kembar tengah berusaha menghentikan laju kereta luncur buatan kakak mereka. Keduanya tidak bisa berhenti mengeluarkan air dari kelopak mata mereka. Saat ada ranting pohon yang mencuat keluar, si laki-laki meraih ranting itu. Membelokkan arah kereta luncur sampai akhirnya mereka terpental keluar dan menabrak tanah dengan kuat. 

"Eve!" si laki-laki menghampiri kembarannya. Dia menangkup lembut wajah kembarannya yang sudah basah oleh lelehan air hujan. 

"Evgen, kakakku, Evgen! Kakak!" raungan itu keluar dari mulut Evelyn. Gadis itu menumpahkan segala kesakitan di hatinya pada sang kembaran. Memeluk tubuh tegap Evgen. Tidak peduli dengan hujan yang terus membasahi tubuhnya. 

Evgen membelai lembut kepala Evelyn. Hatinya ikut diremas saat mendengar isakan adik kembarnya. Sekuat tenaga, Evgen menahan untuk tidak ikut terisak. Beruntung air hujan bisa menyembunyikan aliran sungai yang tercipta di kedua pipinya. 

"Ayo pergi, Evgen! Aku ingin bersama kakak, Evgen! Ayo, kita tolong mereka!" Evelyn menarik-narik tangan Evgen. Dia sangat ingin menolong dua kakaknya. Pikirannya sangat kalut. Perasaannya sangat resah. Gadis itu tidak mau skenario buruk di otaknya benar-benar terjadi. Dia sangat takut. 

Evgen dengan tenang berdiri sambil memeluk Evelyn. Pemuda itu memalingkan wajah. Dia tidak mampu melihat wajah sendu Evelyn. Dia tidak bisa melihat lelehan air mata di pipi kembarannya. Evgen mengangguk pelan, "Baik, ayo pergi."

Maka dengan secepat kilat, tanpa memerdulikan angin dan petir, dua orang itu pergi ke kediaman mereka. Rumah yang selama ini menjadi tempat bernaung bagi mereka. Kediaman Bouvier. Keduanya melesat bagaikan kilat. 

Tangan keduanya bertautan. Mereka tidak berteleportasi karena tenaga mereka sudah terkuras cukup banyak. Mereka memilih menggunakan ilmu peringan tubuh. Melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Berlari dari satu atap ke atap yang lain. Sampai akhirnya mereka tiba di kediaman Bouvier. 

Evgen dan Evelyn mengendap-endap. Seluruh kediaman Bouvier berada di genggaman musuh. Mereka tidak bisa bertindak gegabah. Apalagi, luka dalam dan energi mereka masih belum terkumpul sempurna. Keduanya mengintip dari balik tembok. Mencari-cari keberadaan dua kakak mereka. 

Pihak lawan, alias pasukan iblis yang dipimpin oleh Ketua Hans dari perguruan Harimau Putih tengah mengumpulkan sisa-sisa para pekerja di kediaman Bouvier. Nihil, tidak ada yang selamat. Rata-rata mereka sudah mati dan ditutupi oleh kain putih. Evgen dan Evelyn semakin was-was. Hati mereka menjerit, meneriakkan nama kedua kakak mereka dalam hati. Banyak doa mereka panjatkan demi keselamatan sang kakak. 

"Kak Elliot, Kak Ellios, kalian di mana?" ucap lirih Evelyn penuh kepedihan. Dia menatap Evgen yang sama-sama mencari kedua orang itu. 

"Eve, jangan terlalu berharap," suara penuh keputusasaan itu terdengar parau. Evgen sudah tidak enak hati. Digenggamnya kalung milik Elliot yang ada di lehernya. Pemuda itu memutuskan untuk tidak mengintip lagi. Dia tidak sanggup melihat banyaknya nyawa yang melayang karena mempertahankan kediaman Bouvier. 

Evelyn ikut turun. Dia menyandarkan kepala di pundak Evgen. Bumi masih menangis. Menyamarkan lelehan air mata Evgen dan Evelyn. Isakan lirih mereka juga teredam oleh kerasnya suara guntur yang menyerang bumi. 

"Kita belum melihat di dalam rumah. Evgen, apa mereka ada di sana?" Evgen memandang sendu adik kembarnya itu. Dia menggenggam erat tangan Evelyn. Evgen membaca mantra agar tubuh mereka transparan. Dia juga langsung merapalkan mantra teleportasi untuk masuk ke dalam rumah. 

Di aula kediaman Bouvier terdapat banyak kursi untuk menyambut tamu yang datang. Ada juga kursi khusus untuk kepala keluarga yang kini diduduki oleh Ketua Hans. Di depannya tergantung dua tubuh tak bernyawa. Ketua Hans menatap dua tubuh itu dengan seringai keji. Dia mengambil cambuk sihir miliknya dan melukai tubuh tanpa nyawa itu tanpa ampun. 

"Sangat mudah membunuh kalian. Elliot dan Ellios, dua sulung Bouvier," Ketua Hans tertawa puas. Tidak hanya mencambuk, dia juga memberikan beberapa sayatan di tubuh keduanya. 

Evelyn nyaris saja berteriak jika tidak dibekap oleh Evgen. Gadis itu menangis dalam diam. Tidak terima kakaknya diperlakukan dengan keji seperti itu. Dia sangat ingin membunuh Ketua Hans. Tatapan nyalang penuh kebencian dilayangkan oleh Evelyn pada pria tua itu. 

Evgen mengepalkan tangan dengan kuat. Giginya bergemelatuk menahan amarah. Aura gelapnya sedikit menguar. Menandakan betapa emosinya pemuda itu. Tubuhnya bahkan gemetaran. Lelehan air mata semakin deras mengalir di kedua pipinya. Dia menyumpah serapahi pria tua bejat itu. 

"Kurasa darah mereka akan sangat bermanfaat untuk Raja Iblis," tanpa hati, Ketua Hans menusuk perut Elliot dan Ellios. Tubuh kaku itu masih mengeluarkan darah jika ditusuk. Ketua Hans kemudian memunculkan sebuah wadah untuk menampung darah keduanya. 

Dua anak kembar yang masih ada di sana dalam kondisi transparan memalingkan wajah. Keduanya tidak sanggup melihat pemandangan seperti itu. Mereka sama-sama terisak. Sedang, Ketua Hans melakukan hal yang lebih gila lagi. Sambil terbahak, pria itu memisahkan kepala Ellios dan Elliot dari badannya. 

Evelyn menyentak tangan Evgen. Gadis itu langsung berteleportasi ke sebuah hutan. Diikuti oleh Evgen. Keduanya berlari tanpa arah. Menjerit, meraung, berteriak, menangis. Gelegar petir dan derasnya hujan seolah menggambarkan suasana hati keduanya. Baik, Evgen ataupun Evelyn, mereka sama-sama merasakan kehancuran yang paling dalam. Hati mereka terasa remuk redam. Cahaya hidup mereka seolah meredup. 

Evelyn tersandung dan jatuh berlutut. Tangisannya semakin mengeras. Evgen di belakangnya berhenti melangkah. Dia merendahkan tubuhnya. Meraup tubuh Evelyn. Didekapnya sang adik dengan penuh kelembutan. Keduanya sama-sama menumpahkan segala emosi yang tertahan di dalam dada. 

"Evgen! Kakak kita pergi, Evgen!" adu Evelyn. 

"Kenapa?! Kenapa kakak meninggalkan kita?! Bukankah, bukankah kakak mau melihatku menikah?! Kak Elliot berkata dia akan menguji calon suamiku nanti. Kak Ellios berkata akan mengadakan pesta meriah saat aku menikah nanti. Kenapa, kenapa mereka malah pergi seperti ini?!" Evelyn semakin terisak. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Evgen. Tangisannya tidak bisa berhenti. Malah semakin parah. 

Evgen menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Tangannya berusaha untuk tetap membelai lembut rambut basah Evelyn. Pemuda itu berusaha untuk tegar di hadapan adiknya. Tapi, perasaannya tidak bisa membohongi gerak tubuhnya. Dalam hati, dia juga mengadukan hal yang sama. 

Kak Elliot, bukannya kakak berjanji akan melantikku menjadi komandan pasukan kelak? Kak Ellios, kau bilang kau ingin melihatku berjalan sebagai jenderal, bukan? Kenapa kalian malah meninggalkanku seperti ini? Apa salahku, kakak? 

Evgen menumpukkan dagunya di atas kepala Evelyn. Sepasang anak kembar itu terus menangis tanpa henti. Mereka sampai tidak sengaja tertidur karena kelelahan menangis. Malam hari itu menjadi malam paling buruk untuk keduanya. Lantas, apakah malam buruk seperti ini hanya akan berlangsung satu kali? Atau, akankah mereka mengalami malam buruk lainnya di masa depan kelak? Biarlah waktu menjawab semua itu nanti.

***

Fate Of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang