Bonus Part

2K 174 21
                                    

Kalau ada yang tidak berguna di pagi hari ini, kau bisa menyebut alarm ponselku. Aku bangun bahkan sebelum dia berdering. Aku langsung terlonjak dari kasur, mengambil handuk, membasuh tubuhku secepat kilat, dan berganti menjadi baju ternyaman yang kumiliki. Aku memermak wajahku sedikit, kubiarkan rambut panjangku menuruni pinggangku.

Hari yang sudah sangat lama kutunggu akhirnya datang, dan hari ini, bersyukurnya, adalah hari libur kampusku.

Aku berlari begitu kencang menuruni tangga dari kamarku. Kutemui mama pertama kali ketika dia tengah memasak sarapan.

"Makan dulu, Gia."

Namun aku tidak bisa membuang waktu. "Bekel aja."

"Ih, makan!"

Aku mengotot. "Bekel!"

"Udah kasih dia pergi aja." Aku menoleh kepada Papa, yang bersandar di sofa, membaca berita pagi ini. Aku tidak bahkan tahu kalau dia tengah mengambil libur. "Keras kepala gitu anak kamu, kamu mana menang."

Aku tersenyum tipis kepadanya, dan cepat-cepat mengambil kotak bekal, menjejalkan semua hidangan yang sudah disiapkan ke dalam, dan memasukkannya ke tas. Setelah mengucapkan sampai jumpa yang kelewat singkat, aku mengambil kunci mobil dan menjalankan mobilku secepat kilat menuju tempat yang selalu kudatangi minimal satu bulan sekali.

Dan ini adalah hari terakhir aku harus mendatanginya. Karena itu, aku begitu bahagia.

***

Tungkaiku berlari kencang dari mobil menuju gerbang Lapas.

"Pagi, Pak." Aku berkata, tersenyum begitu lebar.

Sang satpam yang sudah mengenaliku langsung tersenyum padaku. "Oh pagi, Mbak Gia. Kunjungan lagi?"

"Jemput, Pak." Aku mengacungkan jempolku.

Dan matanya langsung melebar terkejut. "Lho, toh, udah 4 tahun aja? Cepet bener! Sedih juga saya ga bisa ketemu mbak lagi."

Aku tertawa. "Kali-kali saya mampir bawa kupat tahu kesukaan bapa."

Dia yang kali ini mengacungkan jempol. "Masuk, masuk, silakan. Ini hari bahagia."

Aku tersenyum begitu lebarnya. Dia benar. Ini adalah hari yang penuh kebahagiaan.

***

Nafasku tersengal, rambutku yang baru kubasuh rasanya sudah lepek saja karena matahari Jakarta yang menyengat begitu kencang. Walau begitu, aku berjalan dengan tungkaiku yang terasa ringan. Barangkali, sampai tidak bersuara. Aku sudah mengenal denah tempat ini bagai rumah keduaku. Tapi pamandangan hari ini begitu menakjubkan, aku sampai berhenti sebentar di hadapan pintu Lapas. Aku tertegun dalam keheningan.

Lima orang pria yang sudah berdekade-dekade rasanya tidak kutatap berdiri menggunakan pakaian biasa – bukan pakaian penjara – tampak begitu tampan di tengah kesilauan mentari pagi ini. Kelimanya tidak menyadari kehadiranku awalnya, sampai Kak Oscar menemui mataku. Dan seketika, senyumnya melebar.

"Hose, jemputan lo tuh!" serunya.

Dan Kak Hose menoleh kepadaku. Dengan mata indahnya yang tampak kelewat tampan hari ini, rambutnya yang sedikit panjang karena jarang dipangkas, namun tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari yang kuingat. Aku sering bertemu dengannya dari pembicaraan singkat di bui, namun kali ini raganya ada di hadapanku, boleh kupeluk, boleh kurengkuh, bisa kugapai. Aku rasanya ingin menerjang sekarang, namun aku masih memiliki rasa malu. Aku tidak berani merengkuhnya di hadapan teman-temannya.

Kebahagiaan ada di tatapan setiap orang. Mungkin kecuali Kak Dio. Kembarannya belum bisa keluar bui sampai 3 tahun lagi. Namun semuanya rela untuk menanti kembalinya Gio dan lengkapnya keenam dari mereka, sahabat sejati yang telah melalui bahagia dan sendu bersama-sama.

Aku menghampiri mereka, berdiri diantara 5 menara pria berbadan begitu tinggi, yang sangat kurindukan.

"Kangen?" tanya Dio, masih mencoba menjahiliku, menutupi kesenduannya.

Aku tidak kuasa menahan diri untuk tidak mengangguk.

Namun sebelum itu, pundakku lebih dulu ditarik oleh Kak Hose, dan ragaku direngkuh oleh miliknya. Aku seketika tersipu. Aku sangat merindukan rasa ini!

"Cuman ke gue doang." Cibirnya, mengejeki teman-temannya yang tidak memiliki kekasih.

"Bucin lo, bangsat."

"Goblok."

"Sialan."

"Anjing lo, Babi."

Jadi anjing atau Babi Kak Hose ini!?

Namun aku tertawa bersama dengan mereka. Kalau kebahagiaan bisa dijadikan bentuk, maka hari ini adalah kristalisasi dari segudang senyum. Kami melangkah keluar gerbang bersamaan, aku menggandeng tangan Kak Hose, sembari mendengar keluh kesah setiap insan tentang betapa menyesakkannya di bui selama 4 tahun lamanya. Aku merindukan Kak Gio, namun itu perkara lain.

Untuk sekarang, kami tersenyum lebar. Akhirnya, setelah penantian yang panjang. Itu saja sudah lebih dari cukup.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang