Chapter 18 - Familiar Fist

1.8K 148 0
                                    

"Lho, Kok Demamnya makin parah sih?" Mama memekik sembari menggenggam termometer di tangannya. "Biasanya cepet reda lho. Kamu panas begini, ayo ke dokter."

Aku tidak mau. Aku tidak bisa.

Kak Hose mungkin penyebabnya. Aku mungkin bukan mengidap penyakit. Aku hanya tersiksa oleh lonceng kematian.

Setelah pingsan tadi malam, aku terbangun dengan kepala yang bagai dihantam beribu batu raksasa. Dadaku sesakit diimpit beton. Aku membutuhkan banyak waktu bahkan untuk bangkit dari kasurku belaka.

Namun ada satu hal yang kusyukuri dari hari menyeramkan ini.

Kalau aku masih kesakitan, artinya Kak Hose masih hidup.

Kalau kematiannya masih mendekat, artinya dia belum tiada. Ini adalah hari ke-5 semenjak pertemuan pertama kami. Dan kalau perkiraanku benar, artinya tenggat 1 minggu sudah nyaris dekat.

Karena itu, aku tidak bisa diam di rumah tanpa menemuinya.

"Ga mau mah, hari ini aku ada ulangan Fisika." Aku berbohong.

"Mana ada ulangan di minggu pertama sekolah sih, Gi. Jangan ngada-ngada." Dan sialnya, aku gagal.

"Aku mau sekolah mah."

"Kesehatan kamu lebih penting!"

"Aku ada urusan di sekolah." Sanggahku, dengan suara begitu serak.

"Urusan apa sampai harus korbanin badan kamu yang sakit gini?"

Aku nyaris tidak bisa menjawab. "Urusan sama temen-temen."

"Haduh, Gia, gini denger, ya. Kamu memang anak baru di sekolah kamu, kamu pasti pengen keliatan bagus di depan temen-temen baru kamu. Tapi kalau temen-temen itu engga ngertiin kamu buat diem di rumah karena kamu sakit begini, itu namanya bukan temen!"

Andai mama tahu Olin dan Lea bukan alasanku sebenarnya. Andai dia tahu kalau Kak Hose adalah perihalnya.

Andai dia tahu tentang lonceng kematian. Mungkin tidak perlu serumit ini.

Namun dia tidak tahu. Dan aku tidak berniat memberitahunya, barangkali sampai kapan pun.

"Aku udah mendingan."

"Mana ada!?"

"Ini aku bisa berdiri." Aku menaikkan tungkaiku dari kasur, berpura-pura kalau itu hal mudah ketika lututku bahkan nyaris ambruk. "Aku bisa jalan. Aku bisa belajar. Aku bisa makan obat. Selesai masalahnya."

"Kamu belum jadi Mama jadi belum tau rasanya khawatir sama anak, Gi!"

Perdebatan kita berlangsung panjang setelahnya. Bahkan aku nyaris telat, karena lama memaksa Mama untuk mengantarku ke balik gerbang gedung instansi pendidikanku.

Seperti yang kalian baca, ya, aku yang akhirnya memenangkan perdebatan. Dengan syarat kalau ada yang terjadi padaku di tengah hari, aku harus dijemput pulang. Aku mengiyakan saja secepatnya.

Ketika aku melihat mobil Mama pergi dari pekarangan sekolah, aku menghela nafas panjang. Keringat mulai mengucur kembali dari pelipisku. Aku meringis kesakitan merasakan jantungku yang laksana ditusuk-tusuk jarum. Aku akhirnya bisa berhenti berpura-pura tidak kesakitan. Namun nyerinya kian kencang, kian aku melangkah masuk ke lorong-lorong sekolah.

Aku berharap dia baik-baik saja. Aku menggumam dalam hati sembari sempoyongan. Aku harus menemuinya.

***

"Dua detik lo lebih lambat, kena damprat Bu Nur lo, anjir!" Olin berkata heboh, ketika aku sampai di mejaku, meletakkan tasku.

Memang. Aku baru saja akan diberi hukuman telat kalau tidak sampai 2 detik lebih cepat.

Kakak Kelasku Akan MatiUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum