Chapter 26 - Will You Understand?

1.8K 151 0
                                    

(Author POV)

"Perang terakhir, ya?" Tangan kekar Ambrose mencengkeram sisi ranjang Oscar. Matanya menatap teman paling akrabnya itu yang terkapar tanpa bisa bergerak. Nyaris kehilangan nyawa, kalau saja tidak dilarikan ke rumah sakit tepat waktu.

Banyak yang telah terjadi setelah 2 tahun yang terasa panjang. Semenjak kematian Anora. Semenjak Ambrose menceritakan kepada teman-temannya alasan sebenarnya dibalik kematian kakaknya sendiri. Semenjak mereka pertama kali membuat Cavalry. Semenjak kali pertama mereka menjadi satu organisasi kecil 'perusak masyarakat' sekalipun mereka tidak pernah mengincar nyawa orang biasa.

Ambrose masih mengenang kali pertama setiap anggota Cavalry memegang senapan. Latihan yang mereka lakukan setiap hari. Pelacakan Joker yang berbelit-belit. Pertengkaran pertama mereka, sampai entah ke berapa puluh kali sekarang, yang akhirnya akan menutup tirai.

Untuk sesaat, semuanya terbesit di mata Ambrose bagai film pendek sejenak. Namun membekas begitu dalam di kalbunya.

Dia akan mengenang ini semua.

Teman-temannya.

Eden. Gio. Dio. Genda. Oscar.

Perjuangan mereka.

Pengorbanan mereka.

Masa lalu mereka.

"Makasih banyak, lo semua. Berapa pun gue coba, gue engga bakalan bisa bayar seberapa banyak jasa kalian bantuin gue." Ambrose berucap serak. "Kita bakal terima tantangan mereka, dan kita akan menang. Seudah itu Joker bakalan kita serahin ke polisi, dan Cavalry bakalan bubar. Engga satu pun dari kita akan ketangkep, selamanya kita hidup damai. Titik."

Semua senyum melebar di setiap paras yang berada di dalam ruang itu. Mendengar ucapan penuh keyakinan ketua mereka, rasanya bagai diberikan dorongan semangat berlipat ganda. Genda yang semula duduk di sofa bahkan kini bangkit dengan tangan mengepal, dan bibir tampak oleh senyum.

"Siap lo semua?" tanya Ambrose, bara api berkobar di balik matanya.

"Kalo lo ngomong 'go' kita langsung cabut. Dari dulu juga gitu, kan?" Eden tertawa. Senyum mengembang tipis di paras Ambrose.

"Lo jangan mati ya, anjing. Gue engga mau jadi anak tunggal terus dengerin ocehan mama setiap malem sendirian." Dio menggeram pada Gio.

"Harusnya gue yang ngomong, bangsat. Lo jangan jadi beban."

"Dari dulu lo yang beban, bukan gue!"

"Ga ada, goblok!"

Tawa berhasil mencairkan suasana yang semula penuh ketegangan. Setiap orang di dalam ruangan ini tahu apa yang akan menanti mereka. Luka-luka yang lebih parah, pertikaian yang lebih sengit, kemungkinan cedera yang lebih buruk. Atau terparah, mungkin mereka yang sebaliknya masuk ke dalam jeruji, jikalau polisi datang tepat waktu. Sekalipun begitu, tidak satu pun tatapan yang goyah.

Tidak satu siapa pun.

Ambrose mencekal tangan Oscar yang berbalut perban, lalu menggertakkan rahangnya. "Tunggu kita balik seudah bales dendam lo, ya."

Untuk kali terakhir, semuanya adu tatap, dan serentak menganggukkan kepalanya.

Semuanya telah siap.

Namun...

"Dek, jangan gerak dulu! Tunggu sebentar. Saya panggilin dokter, kondisi kamu gawat banget ini!" Setiap mata tersentak ke arah pintu, mendengar kegaduhan di luar. "Dek, tunggu!"

Semuanya seketika terkejut ketika pintu terbuka, dan yang muncul dari balik sana adalah paras Gianna. Berbalut peluh, bahkan terkapar di ubin. Wajahnya semerah tomat. Nafasnya seberat timah. Bahkan dia mencengkeram pakaian bagian dadanya sampai buku jarinya memutih. Jelas, dia tidak tampak baik-baik saja.

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang