Chapter 17 - Until Dawn

1.9K 158 1
                                    

"Astaga, Gia! Kamu kenapa, Nak!?"

Pekik nyaring Mama adalah hal pertama yang kusadari semenjak aku turun dari mobil. Aku terdengar gila, memang, namun ini nyata. Aku terbangun beberapa kali di tengah perjalanan, lantas kembali terlelap, lantas bangun, kembali lagi hilang kesadaran. Terus-menerus sampai kepalaku rasanya nyaris fertigo.

Aku menyadari kami telah kembali ke Jakarta. Aku menyadari ketika aku kembali ke pekarangan rumahku. Baru saat itu mataku bisa kubuka sempurna.

Kak Hose membuka pintu mobil untukku, namun aku menolak tawarannya untuk menggendongku ke dalam. Aku tahu dia tidak nyaman memegang wanita. Aku tidak ingin memberatkannya kian banyak lagi. Tangannya yang berlumuran darah sudah tidak tampak. Mungkin sepanjang perjalanan seraya menyetir, dia mengusap bekas-bekas darah Kak Oscar dari tubuhnya. Bahkan perbannya yang semula sudah merah oleh darah kini putih bersih, diganti baru.

Mungkin tadi kita berhenti di peristirahatan. Mungkin tadi kita menepi. Mungkin tadi ada macet sehingga Kak Hose bisa mengganti perban. Mungkin... Sebab kalaupun iya, aku tidak sadar.

Aku sempoyongan masuk kembali ke dalam rumah, dan Kak Hose dengan baik hati menopangku ke dalam.

Aku jadi bertanya-tanya, dari mana dia tahu lokasi rumahku?

Namun aku menyadari kalau Kak Hose bisa bertanya kepada Kak Dio dan Gio. Mereka pernah kemari.

Lantas dari mana kembar itu mengetahui alamatku?

Aku menggerutu dalam hati ketika terbesit di pikiranku. Barangkali bukan aku saja yang menengok ke dalam formulir data siswa. Barangkali mereka juga melakukan yang sama kepadaku, hanya untuk iseng. Melihat formulirku dan mencuri alamatku. Mereka terdengar bisa melakukan itu. Tidak, mereka pasti melakukan itu.

Sial. Mereka berdua memang menyebalkan.

"Gianna tiba-tiba pusing sama demam di tengah kemah, Tan." Kak Hose menjelaskan, terbesit penyesalan di suaranya. Dia tengah meminta maaf. "Saya mau bawa ke rumah sakit, tapi mau minta izin dulu ke Tante. Soalnya, ini demamnya udah lumayan reda-"

Aku menarik lengan Kak Hose, menghentikannya berbicara. Aku masuk ke dalam rumah, kembali ke dekapan mama.

"Aku ga papa, Ma. Aku udah mendingan."

Mama mengernyitkan keningnya bingung. "Kamu sampai semalem masih ga papa, kok tiba-tiba panas gini, Gi?"

Aku tersenyum getir. "Yang kaya biasa, Ma. Kan dari kecil memang begini."

Mama hanya tahu kalau aku mudah sakit. Dia menyangka hal sepele seperti darah rendah atau kekurangan vitamin yang menyebabkanku begini. Dia tidak menggubrisnya. Namun dia tidak tahu kalau sebenarnya lonceng kematian yang membuatku seperti ini.

Tepat sebelum kematian Kakek, aku demam sampai terkapar. Tepat sebelum kematian Nenekku. Tepat sebelum kematian Pamanku dulu. Tepat sebelum setiap guru-guru tua di sekolah kehilangan nyawa. Setiap kami berada dekat dengan sebuah lokasi kecelakaan.

Tepat setelah kematian Febian.

Aku selalu tutup mulut sepanjang hidupku. Bahkan kepada ibuku sendiri. Karena itu Dia hanya mengangkat alis, puas dengan alasanku dan tidak lagi mempermasalahkan sakitku.

"Oh, ini sih udah biasa buat Gianna, kok." Mama mengibaskan tangannya di udara. "Eh, kamu namanya siapa?"

"Ambrose, Tan."

"Ih namanya ganteng." Aku nyaris menepuk jidatku yang masih separuh demam. Dia sudah terpukau lagi kepada kakak kelasku yang ini. Karena tampangnya yang tampan, tentu saja. "Gianna memang dari kecil penyakitan gini. Suka tiba-tiba demam, suka tiba-tiba mual. Tapi nanti sembuh sendiri. Kata dokter sih waktu kecil mungkin flu biasa."

Kakak Kelasku Akan MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang