Chapter 10 - Flashlight

2K 165 2
                                    

"Ini udah jam berapa Kak? Hp aku ketinggalan di tenda."

Aku bergumam, sembari berjalan hati-hati dalam kegelapan. Di sekitar kami rerumputan terbentang. Pohon-pohon berdiri tegak. Jalanan berundak-undak oleh bebatuan dan tanah yang tidak rata. Aku beberapa kali nyaris terjatuh, Kak Hose selalu tanggap membantuku kembali tegak. Aku bersyukur aku tidak mencari kayu seorang diri.

Aku bersyukur Kak Hose ada di sampingku.

Aku sudah membawa beberapa kayu, namun Kak Hose tidak membiarkanku membawa yang berat. Katanya, dia yang akan mengangkut semua kayu bakar besar-besar, jadi tugasku adalah menggenggam senter.

Dan bahkan pekerjaan semudah itu saja, aku tidak melakukannya dengan baik. Terkadang kak Hose akan menggerutu, mengatakan "sorotinnya ke tanah, Ann, bukan ke daun," dengan geram. Lantas aku akan merasa bersalah. Dan semua itu berulang, terus-menerus.

Aku sungguh tidak pandai dalam banyak hal.

Aku berdekat-dekatan terus dengannya seperti yang Kak Hose perintahkan. Aku pun tidak berani jauh-jauh, takut tergelincir, dan kehilangan nyawaku. Aku terus membuntutinya, mencoba menyenteri jalan sebaik yang kubisa.

"Yang gue mati. Lowbat." Kak Hose mengacungkan ponselnya.

Dan aku membelalak. "Terus, kita gimana pulangnya?!"

Kak Hose menghela nafas panjang. "Gue hafal jalan balik, gausah takut."

Mengagumkan. Sebab di mataku, semua pohon tampak sama saja. Tidak ada yang bisa membedakan arah mana kita harus kembali. Kanan maupun kiri. Depan maupun belakang. Aku benar-benar akan menjadi perempuan hilang kalau tidak ada Kak Hose.

Lagi-lagi, aku bersyukur.

"Ini udah cukup banyak lah ya buat semaleman." Aku berkata, menatap kayu yang kita bawa.

"Aneh kalau ga cukup." Aku bisa melihat peluh mengaliri kening Kak Hose, dia membawa banyak kayu. Dan ukurannya semuanya masif. Aku tidak bahkan tega membiarkannya membawa semua itu, namun dia bersikukuh.

Lantas apa yang bisa kulakukan selain berdiam diri?

Srek. Srek.

"Ah!" Aku memekik, ketika aku mendengar suara dedaunan yang bergesekan. Suara seakan ada orang lain selain kita di hutan ini.

Jantungku seketika bertalu-talu, aku ketakutan. Aku melihat ke sana-kemari, namun aku tidak menemukan siapa-siapa. Aku terperanjat ketika Kak Hose tiba-tiba menarik tubuhku untuk mendekat kepadanya, merangkul pundakku, dan memaksakan diri untuk mengangkat setiap kayu dengan satu tangan saja.

Aku bergetar di balik tangannya.

"Jangan jauh-jauh, Ann."

Aku mengangguk, walau sembari menelan ludah sepat.

"H-harusnya engga ada siapa-siapa selain kita, kan?"

"Harusnya."

Srek. Srek.

Aku berdebar setiap mendengar suaranya. Aku tidak tahu arahnya dari mana. Terkadang dari kiri, terkadang berpindah. Barangkali selanjutnya akan di kanan. Selanjutnya akan di depan. Aku tidak tahu. Satu hal yang jelas, aku gentar.

Dan aku berpegangan erat kepada Kak Hose, mencari perlindungan sebab aku ketakutan setengah mati.

Ketegangan menghamburi udara. Suara gesekan dedaunan itu tidak kunjung berakhir juga. Kak Hose mengambil senter di tanganku, memaksaku untuk tidak menjauh dari raganya. Aku tidak bahkan berani melangkah satu kaki lebih jauh darinya. Dan kami begitu terpaku dalam ketakutan, kami sama-sama tegang, walau Kak Hose mencoba untuk tampak tegar, aku melihat keringat merunut keningnya.

Kakak Kelasku Akan MatiWhere stories live. Discover now